Kamis, 10 Oktober 2013

STUDI ISLAM DALAM KONTEKS KESARJANAAN

STUDI ISLAM DALAM KONTEKS
KESARJANAAN

Makalah Dipresentasikan Pada Seminar
Mata Kuliah PDPI, Program Studi Pendidikan Islam
Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam

Oleh:
HADIB RITONGA
Dosen Pembimbing
DR. MUHAMMAD IQBAL, M.Ag.
http://ppsiainmedan.ac.id/wp-content/uploads/2012/05/IAIN-SU3.jpg

PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.........................................................................................................................1
BAB I  PENDAHULUAN...................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................3
A.    Pengertian dan Obyek Pengkajian Studi Islam..........................................................3
B.     Studi Islam Di Timur dan Barat................................................................................7
PENUTUP............................................................................................................................13
DAFTAR BACAAN...........................................................................................................15
















BAB I
PENDAHULUAN

Kajian tentang Islam tidak hanya terkait dengan persoalan ketuhanan atau keimanan saja, akan tetapi juga mencakup tentang sejarah kebudayaan Islam, masyarakat sosial muslim dan kajian-kajian kebudayaan bercorak Islam lainnya. Kajian ilmiah tentang Islam dapat dibedakan antara Islam yang merupakan sebagai sumber dan Islam sebagai pemikiran serta Islam dalam pengamalan penganutnya.
Agama Islam, di samping sebagai keyakinan yang dianut oleh manusia dengan corak spritualnya, juga harus dipelajari sebagai objek kajian Ilmiah yang menarik.. Alasannya adalah karena selain Agama dapat mempengaruhi semangat kerja, semangat juang dan berkorban bagi pemeluknya, Islam juga merupakan budaya bahkan sejak lama telah menjelma menjadi budaya, Islam mempunyai masyarakat. Bila Islam adalah budaya dan mempunyai masyarakat maka ia layak dikaji ilmiah dengan berbagai pendekatan. Di beberapa perguruan tinggi, kajian tentang Islam telah menjadi bagian kajian ilmiah, misalnya McGill University, Sarbonn University, dan lain-lain.
Islam sebagai ajaran agaknya menjadi topik yang menarik dikaji, baik oleh kalangan intelektual muslim sendiri maupun sarjana-sarjana barat, mulai tradisi orientalis sampai dengan Islamolog (ahli pengkaji keislaman). Dalam konteks kesarjanaan, maka pendekatan yang dikaji di sini adalah pendekatan yang digunakan oleh para orientalis sebagai outsider (pengkaji dari luar penganut Islam) dan insider (pengkaji dari kalangan muslim sendiri). Pada tahap awal, kajian keislaman dikalangan intelektual muslim lebih mengutamakan pola transmisi, sementara kajian keislaman orientalis lebih mengedepankan kajian kritis atas ajaran, masyarakat, dan institusi yang ada di dunia Islam.
            Pada dasarnya kajian keislaman lebih merupakan usaha kritis terhadap teks, sejarah, doktrin, pemikiran dan institusi keislaman dengan menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu yang secara popular di kalangan akademik dianggap ilmiah. Menurut Jacques Waardenburg dalam bukunya yang berjudul Islamic Studies dikatakan bahwa Studi Islam adalah kajian tentang agama Islam dan aspek-aspek dari kebudayaan dan masyarakat muslim.[1] Berbeda dengan kajian yang biasa dilakukan dalam perspektif pemeluk Islam pada umumnya, Islamic Studies menurutnya tidak bersifat normatif. Dalam hal ini, Islam dipandang sebagai ajaran suatu agama yang sudah membentuk komunitas dan budaya, dilepaskan dari keimanan dan kepercayaan. Dengan demikian, Islamic Studies menjadi kajian kritis dan menggunakan analisis yang bebas sebagaimana berlaku dalam tradisi ilmiah tanpa beban teologis atas ajaran dan fenomena keagamaan yang dikajinya. 










BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian dan obyek pengkajian Studi Islam
Studi Islam (Islamic studies= Dirasah al-Islamiyah) atau studi ilmiah tentang Islam adalah upaya pengkajian Islam dengan menerapkan metode ilmiah,  khususnya  dalam konteks sosial sains.[2]
Objek ilmiah studi Islam sering diistilahkan dengan “Islam pada tiga tingkatan”. Memang studi-studi ke-Islaman tidak akan pernah terlepas dari salah satu tingkatan ini, baik pada tataran wahyu, pemahaman atau pemikiran dan pengamalannya dalam masyarakat.
Islam sebagai wahyu adalah hal sudah tetap, yakni Islam seperti halnya yang tersebut dalam Alquran al-Karim. Maka memahami Islam sebagai wahyu adalah hal sungguh esensial dalam kajian-kajian ke-Islaman. Studi Tafsir Alquran al-Karim adalah salah satu contoh studi Islam pada tataran pertama.
Pada tataran selanjutnya, yakni Islam sebagai pemikiran atau pemahaman, memberikan ruang kajian ilmiah yang tidak kalah luasnya dengan Islam sebagai wahyu. Banyak perdebatan-perdebatan antar kelompok-kelompok teologi merupakan perdebatan dalam tataran ke-dua ini. Contohnya adalah masalah tingkah laku seorang manusia, apakah ia mempunyai kehendak sendiri ataukah pekerjaannya sudah ditakdirkan oleh Allah SWT. Perdebatan dalam masalah ini ramai diperbincangkan oleh kaum Mu’tazilah, As’ariyah dan golongan lainnya.[3]    
Selain itu, mengkaji proses Mu’tazilah yang kemudian menganut paham free-will juga termasuk dalam kajian Islam sebagai pemikiran. Bagaimana kemudian memahami kata kutiba yang ada dalam ayat puasa kemudian diartikan menjadi wajib juga merupakan contoh dari studi Islam pada tataran ke-dua.
Konsep kajian Islam sebagai pemikiran atau pemahaman adalah kajian yang berangkat dari sumber-sumber yang diakui  sebagai sumber-sumber Islam, seperti Alquran al-Karim, Hadist, Ijma’ dan lain sebagainya.
Selain itu mengkaji Islam pada tataran ke-dua ini juga akan memberikan ruang untuk mengkaji Islam sebagaimana dipahami oleh suatu masyarakat. Contohnya seperti “konsep wihdatul wujud dalam Tarikat Naqsyabandiah, atau “syari’ah menurut MUI” misalnya dan lain sebagainya. Kajian Islam sebagai pemahaman akan menyediakan ruang studi yang sangat luas, seluas agama Islam menyebar di dunia.
Sedangkan Islam pada tataran terakhir, yakni Islam sebagai pengamalan, juga memberikan ruang kajian ke-Islaman yang sungguh luas. Konsep kajian Islam sebagai pengamalan berangkat dari pertanyaan dasar: bagaimanakah suatu masyarakat mengamalkan Islam?. Dari kajian ke-Islaman pada tingkat ke-dua dan ke-tiga inilah kemudian nantinya muncul studi wilayah, yakni memahami Islam pada suatu masyarakat, daerah, bangsa atau etnis Islam. Salah satu perbedaan antara Islam sebagai pemahaman dengan Islam pada pengamalan adalah aktualisasiya pada kehidupan. Karena bisa saja suatu pemahaman tentang Islam tidak teraplikasikan dalam pengamalan, atau malah bertentangan dengan fakta.
Contoh kajian pada tataran ini adalah “pengaruh konsep wihdatul wujud pada aliran Tarikat Naqsyabandiah”,  atau “mazhab Ciputat” dan lain sebagainya. Dalam kajian-kajian ke-Islaman, tiga tataran ini memang perlu dijelaskan agar tidak terjadi kesalah-pahaman antara pengkaji dengan pembacanya.
Objek kajian studi Islam ini juga memenuhi persyaratan yang diterapkan kepada ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, dapat diobeservasi, dapat diteliti kembali kebenarannya, dapat diuji intersbujektif dan inter-disiplin.
Studi Islam mempunyai kerangka kerja, kerangka teoritis, pembahasan masalah, penyelesaian masalah, inquiry, hipothesis dan kesimpulan. Perangkat langkah-langkah metodologis yang merupakan syarat keilmiahan sebuah kajian telah dipenuhi oleh studi Islam.
Studi Islam juga memakai beberapa pendekatan tertentu dalam kajiannya layaknya ilmu-ilmu lainnya. Objek-objek studi Islam bisa didekati dengan pendekatan sosiologis, antropoligis, psikologis dan lain sebagainya. Dengan demikian, studi Islam telah memenuhi syarat-syarat untuk dapat dikatakan ilmiah. Artinya, studi Islam telah menempati jajaran dan peta kajian-kajian ilmiah lainya. Dengan begitu diharapkan para pengkaji ke-Islaman bisa mempertahankan keilmiahan kajiannya, hingga Islam bisa dipahami dengan lebih objektif, universal dan humanis.
Meski demikian, ternyata ada juga beberapa kendala menurut beberapa golongan yang mengakibatkan studi-studi ke-Islaman pada beberapa kajian tidak bisa dipandang sebagai ilmiah, dan tentu saja pendapat mereka itu juga disanggah oleh beberapa golongan lainnya. Seperti studi sastra Islam-dan memang juga merupakan problem yang dihadapi oleh studi sastra pada umumnya- misalnya, kajian-kajian tentang sastra dipandang tidak bisa mempertahankan keilmiahannya karena tidak bisa melengkapa beberapa syarat-syarat keilmiahan seperti pengujian intersubjektif dan lain sebagainya.
Selain itu, bagi para pengkaji Islam yang shaleh-shaleh dalam pengertian tradisional-, dalam beberapa objek, terdapat keterasingan dalam mengkaji Islam bila ingin menjadikan kajian tersebut memenuhi syarat ilmiah yang diajukan oleh para sarjanawan ilmu-ilmu lain. Seperti Sejarah Islam, bagi pengkaji muslim, sejarah Islam tidak bisa dilepaskan dari wahyu, bahwa kepintaran dan kebijakan Muhammad tidak semata-semata hasil dari usahanya dalam bermasyarakat akan tetapi juaga merupakan bimbingan tuhan. Disinilah persoalan kemudian muncul karena syarat “keilmiahan” sebuah kajian tidak bisa menerima sesuatu tanpa ada sumber yang bisa dibuktikan dalam pandangan mereka, khususnya dalam pemahaman sarjanawan Barat.
Akan tetapi tentu saja hal ini dapat dibantah bahwa kerangka dan langkah-langkah metodologi sebuah kajian tidak harus sama dengan kajian lainnya. Islam mengakui wahyu, ilham dan intuisi sebagai sumber pengetahuan sementara aliran rasionalis tidak mengakuinya. Aliran rasionalis harus lebih rendah hati dan sadar bahwa mengkaji Islam dalam segala aspeknya tidak akan bisa dilepaskan secara total dari wahyu, agar sebuah kajian ke-Islaman dapat menghasilkan kesimpulan yang lebih mendekati kebenaran.
Karena studi Islam berobjek kepada tiga tataran objek kajian seperti yang dikemukakan diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa kebanyakan studi Islam masuk dalam bagian ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora. [4]



B.       Studi Islam di Timur dan Barat
Pendidikan Islam di Indonesia dihadapkan pada tantangan semakin berkembangnya model-model pendidikan yang diselenggarakan oleh berbagai lapisan masyarakat. Dari tingkat yang paling dasar (Madrasah Ibtidaiyah/MI) hingga perguruan tinggi (UIN, IAIN, STAIN, PTAI), pencarian yang ideal tentang studi Islam terus dilakukan, terutama untuk mewujudkan cita-cita pendidikan Islam yang adiluhung. Bagaimana pun harus diakui bahwa model pendidikan Islam di Indonesia masih jauh dari memuaskan, terutama jika dilihat dari sistem pengelolaan, kualitas kurikulum, hingga pada kualitas lulusannya.
Yang tak kalah seriusnya adalah tantangan globalisasi yang memungkinkan sebuah lembaga pendidikan mesti memiliki kualifikasi tertentu yang bertaraf internasional. Sebagaimana diketahui, orientasi pendidikan Islam di Indonesia masih belum begitu jelas, terutama dalam menentukan pola, arah, dan capaian tertentu yang diinginkan, sehingga pendidikan Islam kita dapat diakui secara internasional. Tantangan pendidikan Islam yang sudah diharuskan memiliki kualifikasi internasional, tidak lepas dari pandangan tentang studi Islam, yang selama ini diperdebatkan antara studi Islam di Timur dan Barat.
Secara garis besar terdapat dua bentuk pendekatan dalam kajian Islam di Barat; teologis dan sejarah agama-agama. Pendekatan kajian teologis, yang bersumber dari tradisi dalam kajian tentang Kristen di Eropa, menyodorkan pemahaman normatif mengenai agama-agama. Karena itu, kajian-kajian diukur dari kesesuaiannya dengan dan manfaatnya bagi keimanan. Tetapi dengan terjadinya marjinalisasi agama dalam masyarakat Eropa atau Barat pada umumnya, kajian teologis yang normatif ini semakin cenderung ditinggalkan para pengkaji agama-agama.[5]
Sedangkan pendekatan sejarah agama-agama berangkat dari pemahaman tentang fenomena historis dan empiris sebagai manifestasi dan pengalaman masyarakat-masyarakat agama. Penggambaran dan analisis dalam kajian bentuk kedua ini tidak atau kurang mempertimbangkan klaim-klaim keimanan dan kebenaran sebagaimana dihayati para pemeluk agama itu sendiri. Dan, sesuai dengan perkembangan keilmuwan di Barat yang sejak abad ke-19 semakin fenomenologis dan positivis, maka pendekatan sejarah agama ini menjadi paradigma dominan dalam kajian-kajian agama, termasuk Islam di Barat.[6]
Dalam konteks inilah, pertumbuhan minat untuk memahami Islam lebih sebagai "tradisi keagamaan yang hidup", yang historis, ketimbang "kumpulan tatanan doktrin" yang terdapat dalam al-Qur'an dan Hadits, menemukan momentumnya yang kuat dalam pertumbuhan kajian-kajian Islam di beberapa universitas besar dan terkemuka di Amerika Serikat. Tradisi ini tentu saja pertama kali tumbuh di Eropa, yang selanjutnya dikembangkan di Amerika oleh sarjana semacam D.B. Macdonald (1863-1943) dan H.A. R. Gibb. Keduanya memperingatkan "bahaya" mengkaji hanya "Islam normatif", sebagaimana dirumuskan para ulama, dengan mengabaikan Islam yang hidup di tengah-tengah masyarakat umum. Gagasan ini mendapatkan lahan yang subur di universitas-universitas Amerika. Dan, sejak 1950-an sejumlah universitas mulai mengembangkan pusat-pusat "studi kawasan" (area studies) Islam, yang pada dasarnya mencakup berbagai disiplin yang berbeda, tetapi memperoleh pendidikan khusus dalam bahasa-bahasa, kebudayaan dan masyarakat Muslim di wilayah tertentu.[7]
Dengan kata lain, studi Islam di Barat melihat Islam sebagai doktrin dan peradaban, dan bukan sebagai agama transenden yang diyakini sebagaimana kaum Muslimin melihatnya, tetap merupakan ciri yang tak mungkin dihapus. Oleh karena Islam diletakkan semata-mata sebagai obyek studi ilmiah, maka Islam diperlakukan sama sebagaimana obek-obyek studi ilmiah lainnya. Ia dapat dikritik secara bebas dan terbuka. Hal ini dapat dimengerti karena apa yang mereka kehendaki adalah pemahaman, dan bukannya usaha mendukung Islam sebagai sebuah agama dan jalan hidup. Penempatan Islam sebagai obyek studi semacam ini, memungkinkan lahirnya pemahaman yang murni "ilmiah" tanpa komitmen apa pun terhdap Islam. Penggunaan berbagai metode ilmiah mutakhir yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, memungkinkan lahirnya karya-karya studi Islam yang dari segi ilmiah cukup mengagumkan, walaupun bukan tanpa cacat sama sekali.[8]
Studi Islam kontemporer di Barat, yang berusaha keras menampilkan citra yang lebih adil dan penuh penghargaan terhadap Islam sebagai agama dan peradaban, dengan mengandalkan berbagai pendekatan dan metode yang lebih canggih dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, bahkan tidak jarang dipelopori oleh sarjan-sarjana Muslim sendiri. Ini nampaknya menarik banyak perhatian dari generasi baru pengkaji Islam negeri ini. Departemen Agama bahkan memberikan dorongan lebih besar kepada dosen-dosen IAIN untuk melanjutkan studi tingkat pascasarjana ke Barat, sambil juga tetap meneruskan tradisi pengiriman dosen-dosennya ke Timur Tengah dan negeri-negeri muslim lainnya seperti Turki dan Asia Selatan.[9]
Sementara di tempat lain, studi Islam di Timur Tengah sangat menekankan pendekatan normatif dan ideologis terhadap Islam. Kajian Islam di Timur bertitik tolak dari penerimaan terhadap Islam sebagai agama wahyu yang bersifat transenden. Islam tidaklah dijadikan semata-mata sebagai obyek studi ilmiah yang secara leluasa ditundukkan pada prinsip-prinsip yang berlaku di dunia keilmuwan, tetapi diletakkan secara terhormat sesuai dengan kedudukannya sebagai doktrin yang kebenarannya diyakini tanpa keraguan. Dengan demikian, sikap ilmiah yang terbentuk adalah komitmen dan penghargaan. Usaha-usaha studi ilmiah ditujukan untuk memperluas pemahaman, memperdalam keyakinan dan menarik maslahatnya bagi kepentingan umat. Orentasi studi di Timur lebih menekankan pada aspek doktrin disertai dengan pendekatan yang cenderung normatif. Keterkaitan pada usaha untuk memelihara kesinambungan tradisi dan menjamin stabilitas serta keseragaman bentuk pemahaman, sampai batas-batas tertentu, menimbulkan kecenderungan untuk menekankan upaya penghafalan daripada mengembangkan kritisisme.[10] Meskipun kecenderungan ini tidak dominan, namun pengaruh kebangkitan fundamentalisme di Timur Tengah telah mempengaruhi orientasi pendidikannya yang lebih normatif.
Dua orientasi studi Islam yang dikembangkan di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), masih dijalankan sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Namun demikian, jika dilihat dari perkembangan yang terjadi di UIN, IAIN, dan STAIN menunjukkan kecenderungan orientasi studi ke Barat. Hal ini dapat dilihat dari semakin besarnya jumlah mahasiswa yang dikirim ke universitas-universitas Barat, semacam McGill University, Leiden University, Ohio Institute, dll. Pasca generasi Harun Nasution dan Mukti Ali menunjukkan meningkatnya gelombang pengiriman mahasiswa ke Amerika Serikat, Kanada, Australia, Belanda, Jerman, dan Perancis.
Tak heran jika dekade 80-an dan 90-an terjadi perubahan besar dalam paradigma Islam di kampus-kampus agama (PTAI). Kecenderungan pertama, terjadinya pergeseran dari kajian-kajian Islam yang lebih bersifat normatif kepada yang lebih historis, sosiologis, dan empiris. Pendekatan normatif dalam kajian Islam menghasilkan pandangan serba idealistik terhadap Islam, yang pada gilirannya membuat kaum Muslimin melupakan atau meniscayakan realitas dan, karena itu, sering mengakibatkan mereka terjebak dalam "kepuasan batin" yang semu. Sebaliknya pendekatan historis dan sosiologis membuka mata mahasiswa di lingkungan PTAI tentang realitas-realitas yang dihadapi Islam dan kaum Muslimin dalam perkembanagn dan perubahan masyarakat.
Kecenderungan kedua, orientasi keilmuwan yang lebih luas. Jika pada masa sebelumnya orientasi keilmuwan cenderung ke Timur Tengah, khususnya Universitas Al-Azhar, dalam dua dasawarsa terakhir kelihatan semakin luas dan beragam. Dalam konteks ini, model pendekatan Barat terhadap Islam mulai banyak bermunculan; yang pada pokoknya cenderung lebih bersifat historis dan sosiologis. Pendekatan seperti ini mulai menemukan momentumnya dengan kembalinya sejumlah tamatan universitas Barat untuk mengajar di UIN, IAIN, STAIN, dll. Mereka kembali secara bergelombang, dimulai dengan generasi Mukti Ali dan Harun Nasution dan kemudian disusul kelompok tamatan McGill University. Gelombang selanjutnya adalah mereka yang dikirim belajar ke beberapa universitas Amerika pada masa Menteri Agama, Munawir Sjadzali.[11]
Kendatipun orientasi studi Islam di Indonesia lebih cenderung ke Barat, studi di Timur Tengah tetap memiliki nilai penting, terutama dalam memahami aspek doktrinal, yang menjadi basis ilmu pengetahuan dalam Islam. Dengan demikian, orientasi studi islam di Timur dan Barat tetap signifikan dalam rangka pengembangan pendidikan Islam di lingkungan PTAI seluruh Indonesia.










BAB III
PENUTUP
Studi Islam adalah kajian tentang agama Islam dan aspek-aspek dari kebudayaan dan masyarakat muslim. Berbeda dengan kajian yang biasa dilakukan dalam perspektif pemeluk Islam pada umumnya, Islamic Studies menurutnya tidak bersifat normatif. Dalam hal ini, Islam dipandang sebagai ajaran suatu agama yang sudah membentuk komunitas dan budaya, dilepaskan dari keimanan dan kepercayaan.
Dalam aplikasinya, maka kita  belum melihat secara signifikan adanya perpaduan antara studi Islam di Timur Tengah yang kaya akan penguasaan khazanah Islam dengan studi Islam di Barat yang kaya metodologi. Prototype Fakultas Dirasat Islamiyah yang benar-benar ingin meniru Universitas al-Azhar, ternyata masih jauh dari harapan dengan terbatasnya pengelolaan, manajemen, kurikulum, dan staf pengajar, sehingga untuk dapat memenuhi kualifikasi yang sama seperti Universitas al-Azhar pun belum bisa dilakukan. Alih-alih, ingin mengembangkan yang lebih baik  dari Universitas al-Azhar, jelas masih sangat kesulitan.
Program studi Interdisciplinary Islamic Studies yang tampaknya ingin memindahkan McGill University di Indonesia masih terjebak pada pendekatan Barat yang empiris, historis, dan sosiologis. Padahal, studi Islam juga memerlukan penguasaan sumber-sumber Islam yang paling otentik, yang tentu saja dapat dilakukan dengan penguasaan bahasa Arab yang mumpuni. Bukan saja aspek metodologi yang penting dalam setiap pendidikan Islam, tetapi penguasaan dasar keislaman perlu terus diupayakan secara meyakinkan.
Jika model keduanya dapat digabung dan dipadukan menjadi satu model pendidikan Islam di lingkungan PTAI, kiranya dapat menjawab kekurangan masing-masing orientasi, yakni menguasa khazanah intelektual Islam yang paling dasar dan otentik, juga menguasai metodologi yang dapat digunakan untuk memecah masalah yang dihadapi di tengah-tengah masyarakat. Apakah orientasi "studi Islam yang normatif dan historis dapat dipadukan?” Tentu saja, sangat bisa demi suksesnya pendidikan Islam di Indonesia, yang dapat disejajarkan dengan pendidikan Islam di Timur Tengah dan Barat.












DAFTAR PUSTAKA

AH, Atang dan Jaih Mubaraok, Metodologi Studi Islam, Bandung: Rosdakarya, 2000.
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru,  Jakarta: Logos, 2000.
Mahendra, Yusril Ihza, Studi Islam di Timur dan Barat dan Pengaruhnya terhadap Pemikiran Islam Indonesia,  dalam Jurnal Ulumul Qur'an No. 3 Vol. 5 Tahun 1994.
Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta: UI-Press, 1986.
Sahrido, Jamali, Metodologi Studi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008.






















           






[1] Jamali Sahrodi, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 45.

[2] Atang AH dan Jaih Mubaraok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Rosdakarya, 2000), h. 97.
[3] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 7-10.
[4] Jamali Sahroji, Metodologi Studi Islam..., h. 57.
[5]Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos, 2000), hlm. 229-230.
[6] Ibid.
[7] Ibid., h. 231.
[8]Yusril Ihza Mahendra, Studi Islam di Timur dan Barat dan Pengaruhnya terhadap Pemikiran Islam Indonesia,  dalam Jurnal Ulumul Qur'an No. 3 Vol. 5 Tahun 1994, hlm. 14.
[9] Ibid., h. 17.
[10] Ibid., h. 14.
[11]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru,op. cit., hlm. 172.

1 komentar:

  1. Trekz Titanium Headphones - iTanium-Art
    Detachable Headphones, T-Shirt, and Other Controllers. titanium easy flux 125 amp welder The men\'s titanium wedding bands band has the mokume gane titanium exact titanium apple watch same name as the original titanium frame glasses band that made the guitar's iconic sound

    BalasHapus