STUDI ISLAM DALAM KONTEKS
KESARJANAAN
Makalah Dipresentasikan Pada Seminar
Mata Kuliah PDPI, Program Studi Pendidikan Islam
Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam
Oleh:
HADIB RITONGA
Dosen Pembimbing
DR. MUHAMMAD IQBAL, M.Ag.
PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
DAFTAR ISI
DAFTAR
ISI.........................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................2
BAB II
PEMBAHASAN......................................................................................................3
A. Pengertian
dan Obyek Pengkajian Studi
Islam..........................................................3
B. Studi Islam
Di Timur dan
Barat................................................................................7
PENUTUP............................................................................................................................13
DAFTAR
BACAAN...........................................................................................................15
BAB
I
PENDAHULUAN
Kajian tentang Islam tidak hanya
terkait dengan persoalan ketuhanan atau keimanan saja, akan tetapi juga
mencakup tentang sejarah kebudayaan Islam, masyarakat sosial muslim dan
kajian-kajian kebudayaan bercorak Islam lainnya. Kajian ilmiah tentang Islam dapat dibedakan antara Islam yang merupakan sebagai sumber dan Islam sebagai pemikiran serta Islam dalam pengamalan
penganutnya.
Agama Islam,
di samping sebagai keyakinan yang dianut oleh manusia dengan corak spritualnya,
juga harus dipelajari sebagai objek kajian Ilmiah yang menarik.. Alasannya
adalah karena selain Agama dapat mempengaruhi semangat kerja, semangat juang
dan berkorban bagi pemeluknya, Islam juga merupakan budaya bahkan sejak lama
telah menjelma menjadi budaya, Islam mempunyai masyarakat. Bila Islam adalah budaya dan mempunyai masyarakat maka ia layak
dikaji ilmiah dengan berbagai pendekatan. Di beberapa perguruan tinggi, kajian
tentang Islam telah menjadi bagian kajian ilmiah, misalnya McGill University,
Sarbonn University, dan lain-lain.
Islam sebagai ajaran agaknya menjadi
topik yang menarik dikaji, baik oleh kalangan intelektual muslim sendiri maupun
sarjana-sarjana barat, mulai tradisi orientalis sampai dengan Islamolog (ahli
pengkaji keislaman). Dalam konteks kesarjanaan, maka pendekatan yang dikaji di
sini adalah pendekatan yang digunakan oleh para orientalis sebagai outsider
(pengkaji dari luar penganut Islam) dan insider (pengkaji dari kalangan
muslim sendiri). Pada tahap awal, kajian keislaman dikalangan intelektual
muslim lebih mengutamakan pola transmisi, sementara kajian keislaman orientalis
lebih mengedepankan kajian kritis atas ajaran, masyarakat, dan institusi yang
ada di dunia Islam.
Pada dasarnya kajian keislaman lebih merupakan usaha kritis terhadap teks,
sejarah, doktrin, pemikiran dan institusi keislaman dengan menggunakan
pendekatan-pendekatan tertentu yang secara popular di kalangan akademik
dianggap ilmiah. Menurut Jacques Waardenburg dalam bukunya yang berjudul
Islamic Studies dikatakan bahwa Studi Islam adalah kajian tentang
agama Islam dan aspek-aspek dari kebudayaan dan masyarakat muslim.[1]
Berbeda dengan kajian yang biasa dilakukan dalam perspektif pemeluk Islam pada
umumnya, Islamic Studies menurutnya tidak bersifat normatif. Dalam hal ini,
Islam dipandang sebagai ajaran suatu agama yang sudah membentuk komunitas dan
budaya, dilepaskan dari keimanan dan kepercayaan. Dengan demikian, Islamic
Studies menjadi kajian kritis dan menggunakan analisis yang bebas
sebagaimana berlaku dalam tradisi ilmiah tanpa beban teologis atas ajaran dan
fenomena keagamaan yang dikajinya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan obyek pengkajian Studi
Islam
Studi Islam (Islamic studies= Dirasah al-Islamiyah) atau studi ilmiah
tentang Islam adalah upaya pengkajian Islam dengan menerapkan metode
ilmiah, khususnya dalam konteks sosial sains.[2]
Objek ilmiah
studi Islam sering diistilahkan dengan “Islam pada tiga tingkatan”. Memang
studi-studi ke-Islaman tidak akan pernah terlepas dari salah satu tingkatan
ini, baik pada tataran wahyu, pemahaman atau pemikiran dan pengamalannya dalam
masyarakat.
Islam
sebagai wahyu adalah hal sudah tetap, yakni Islam seperti halnya yang tersebut
dalam Alquran al-Karim. Maka memahami Islam sebagai wahyu adalah hal sungguh
esensial dalam kajian-kajian ke-Islaman. Studi Tafsir Alquran al-Karim adalah
salah satu contoh studi Islam pada tataran pertama.
Pada tataran selanjutnya, yakni Islam sebagai
pemikiran atau pemahaman, memberikan ruang kajian ilmiah yang tidak kalah
luasnya dengan Islam sebagai wahyu. Banyak
perdebatan-perdebatan antar kelompok-kelompok teologi merupakan perdebatan
dalam tataran ke-dua ini. Contohnya adalah masalah tingkah laku seorang
manusia, apakah ia mempunyai kehendak sendiri ataukah pekerjaannya sudah
ditakdirkan oleh Allah SWT. Perdebatan dalam masalah ini ramai diperbincangkan
oleh kaum Mu’tazilah, As’ariyah dan golongan lainnya.[3]
Selain itu,
mengkaji proses Mu’tazilah yang kemudian menganut paham free-will juga
termasuk dalam kajian Islam sebagai pemikiran. Bagaimana kemudian memahami kata
kutiba yang ada dalam ayat puasa kemudian diartikan menjadi wajib juga
merupakan contoh dari studi Islam pada tataran ke-dua.
Konsep
kajian Islam sebagai pemikiran atau pemahaman adalah kajian yang berangkat dari
sumber-sumber yang diakui sebagai
sumber-sumber Islam, seperti Alquran al-Karim, Hadist, Ijma’ dan lain
sebagainya.
Selain itu
mengkaji Islam pada tataran ke-dua ini juga akan memberikan ruang untuk
mengkaji Islam sebagaimana dipahami oleh suatu masyarakat. Contohnya seperti
“konsep wihdatul wujud dalam Tarikat Naqsyabandiah, atau “syari’ah
menurut MUI” misalnya dan lain sebagainya. Kajian Islam sebagai pemahaman akan
menyediakan ruang studi yang sangat luas, seluas agama Islam menyebar di dunia.
Sedangkan
Islam pada tataran terakhir, yakni Islam sebagai pengamalan, juga memberikan
ruang kajian ke-Islaman yang sungguh luas. Konsep kajian Islam sebagai
pengamalan berangkat dari pertanyaan dasar: bagaimanakah suatu masyarakat
mengamalkan Islam?. Dari kajian ke-Islaman pada tingkat ke-dua dan ke-tiga
inilah kemudian nantinya muncul studi wilayah, yakni memahami Islam pada suatu
masyarakat, daerah, bangsa atau etnis Islam. Salah satu perbedaan antara Islam sebagai pemahaman dengan Islam pada
pengamalan adalah aktualisasiya pada kehidupan. Karena bisa saja suatu
pemahaman tentang Islam tidak teraplikasikan dalam pengamalan, atau malah
bertentangan dengan fakta.
Contoh kajian pada tataran ini adalah “pengaruh konsep wihdatul wujud pada
aliran Tarikat Naqsyabandiah”, atau
“mazhab Ciputat” dan lain sebagainya. Dalam kajian-kajian ke-Islaman, tiga tataran ini memang perlu dijelaskan
agar tidak terjadi kesalah-pahaman antara pengkaji dengan pembacanya.
Objek kajian
studi Islam ini juga memenuhi persyaratan yang diterapkan kepada ilmu-ilmu
pengetahuan lainnya, dapat diobeservasi, dapat diteliti kembali kebenarannya,
dapat diuji intersbujektif dan inter-disiplin.
Studi Islam mempunyai kerangka kerja, kerangka teoritis, pembahasan
masalah, penyelesaian masalah, inquiry, hipothesis dan kesimpulan. Perangkat
langkah-langkah metodologis yang merupakan syarat keilmiahan sebuah kajian
telah dipenuhi oleh studi Islam.
Studi Islam juga memakai beberapa pendekatan tertentu dalam kajiannya
layaknya ilmu-ilmu lainnya. Objek-objek studi Islam bisa didekati dengan
pendekatan sosiologis, antropoligis, psikologis dan lain sebagainya. Dengan
demikian, studi Islam telah memenuhi
syarat-syarat untuk dapat dikatakan ilmiah. Artinya, studi Islam telah menempati
jajaran dan peta kajian-kajian ilmiah lainya. Dengan begitu diharapkan para
pengkaji ke-Islaman bisa mempertahankan keilmiahan kajiannya, hingga Islam bisa
dipahami dengan lebih objektif, universal dan humanis.
Meski
demikian, ternyata ada juga beberapa kendala menurut beberapa golongan yang
mengakibatkan studi-studi ke-Islaman pada beberapa kajian tidak bisa dipandang
sebagai ilmiah, dan tentu saja pendapat mereka itu juga disanggah oleh beberapa
golongan lainnya. Seperti studi sastra Islam-dan memang juga merupakan problem
yang dihadapi oleh studi sastra pada umumnya- misalnya, kajian-kajian tentang
sastra dipandang tidak bisa mempertahankan keilmiahannya karena tidak bisa
melengkapa beberapa syarat-syarat keilmiahan seperti pengujian intersubjektif
dan lain sebagainya.
Selain itu,
bagi para pengkaji Islam yang shaleh-shaleh dalam pengertian tradisional-,
dalam beberapa objek, terdapat keterasingan dalam mengkaji Islam bila ingin
menjadikan kajian tersebut memenuhi syarat ilmiah yang diajukan oleh para
sarjanawan ilmu-ilmu lain. Seperti Sejarah Islam, bagi pengkaji muslim, sejarah
Islam tidak bisa dilepaskan dari wahyu, bahwa kepintaran dan kebijakan Muhammad
tidak semata-semata hasil dari usahanya dalam bermasyarakat akan tetapi juaga
merupakan bimbingan tuhan. Disinilah persoalan kemudian muncul karena syarat
“keilmiahan” sebuah kajian tidak bisa menerima sesuatu tanpa ada sumber yang
bisa dibuktikan dalam pandangan mereka, khususnya dalam pemahaman sarjanawan
Barat.
Akan tetapi tentu saja hal ini dapat dibantah bahwa kerangka dan
langkah-langkah metodologi sebuah kajian tidak harus sama dengan kajian
lainnya. Islam mengakui wahyu, ilham dan intuisi sebagai sumber pengetahuan
sementara aliran rasionalis tidak mengakuinya. Aliran rasionalis harus lebih
rendah hati dan sadar bahwa mengkaji Islam dalam segala aspeknya tidak akan
bisa dilepaskan secara total dari wahyu, agar sebuah kajian ke-Islaman dapat
menghasilkan kesimpulan yang lebih mendekati kebenaran.
Karena studi Islam berobjek kepada tiga tataran objek kajian seperti yang
dikemukakan diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa kebanyakan studi Islam
masuk dalam bagian ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora. [4]
B.
Studi Islam di Timur
dan Barat
Pendidikan Islam di Indonesia dihadapkan pada
tantangan semakin berkembangnya model-model pendidikan yang diselenggarakan
oleh berbagai lapisan masyarakat. Dari tingkat yang paling dasar (Madrasah
Ibtidaiyah/MI) hingga perguruan tinggi (UIN, IAIN, STAIN, PTAI), pencarian yang
ideal tentang studi Islam terus dilakukan, terutama untuk mewujudkan cita-cita
pendidikan Islam yang adiluhung. Bagaimana pun harus diakui bahwa model
pendidikan Islam di Indonesia masih jauh dari memuaskan, terutama jika dilihat
dari sistem pengelolaan, kualitas kurikulum, hingga pada kualitas lulusannya.
Yang tak kalah seriusnya adalah tantangan globalisasi
yang memungkinkan sebuah lembaga pendidikan mesti memiliki kualifikasi tertentu
yang bertaraf internasional. Sebagaimana diketahui, orientasi pendidikan Islam
di Indonesia masih belum begitu jelas, terutama dalam menentukan pola, arah,
dan capaian tertentu yang diinginkan, sehingga pendidikan Islam kita dapat
diakui secara internasional. Tantangan pendidikan Islam yang sudah diharuskan
memiliki kualifikasi internasional, tidak lepas dari pandangan tentang studi
Islam, yang selama ini diperdebatkan antara studi Islam di Timur dan Barat.
Secara garis besar terdapat dua bentuk pendekatan
dalam kajian Islam di Barat; teologis dan sejarah agama-agama. Pendekatan
kajian teologis, yang bersumber dari tradisi dalam kajian tentang Kristen di
Eropa, menyodorkan pemahaman normatif mengenai agama-agama. Karena itu,
kajian-kajian diukur dari kesesuaiannya dengan dan manfaatnya bagi keimanan. Tetapi
dengan terjadinya marjinalisasi agama dalam masyarakat Eropa atau Barat pada
umumnya, kajian teologis yang normatif ini semakin cenderung ditinggalkan para
pengkaji agama-agama.[5]
Sedangkan pendekatan sejarah agama-agama berangkat
dari pemahaman tentang fenomena historis dan empiris sebagai manifestasi dan
pengalaman masyarakat-masyarakat agama. Penggambaran dan analisis dalam kajian
bentuk kedua ini tidak atau kurang mempertimbangkan klaim-klaim keimanan dan
kebenaran sebagaimana dihayati para pemeluk agama itu sendiri. Dan, sesuai
dengan perkembangan keilmuwan di Barat yang sejak abad ke-19 semakin
fenomenologis dan positivis, maka pendekatan sejarah agama ini menjadi
paradigma dominan dalam kajian-kajian agama, termasuk Islam di Barat.[6]
Dalam konteks inilah, pertumbuhan minat untuk memahami
Islam lebih sebagai "tradisi keagamaan yang hidup", yang historis,
ketimbang "kumpulan tatanan doktrin" yang terdapat dalam al-Qur'an
dan Hadits, menemukan momentumnya yang kuat dalam pertumbuhan kajian-kajian
Islam di beberapa universitas besar dan terkemuka di Amerika Serikat. Tradisi
ini tentu saja pertama kali tumbuh di Eropa, yang selanjutnya dikembangkan di
Amerika oleh sarjana semacam D.B. Macdonald (1863-1943) dan H.A. R. Gibb.
Keduanya memperingatkan "bahaya" mengkaji hanya "Islam
normatif", sebagaimana dirumuskan para ulama, dengan mengabaikan Islam
yang hidup di tengah-tengah masyarakat umum. Gagasan ini mendapatkan lahan yang subur di
universitas-universitas Amerika. Dan, sejak 1950-an
sejumlah universitas mulai mengembangkan pusat-pusat "studi kawasan"
(area studies) Islam, yang pada dasarnya mencakup berbagai disiplin yang
berbeda, tetapi memperoleh pendidikan khusus dalam bahasa-bahasa, kebudayaan
dan masyarakat Muslim di wilayah tertentu.[7]
Dengan kata lain, studi Islam di Barat melihat Islam
sebagai doktrin dan peradaban, dan bukan sebagai agama transenden yang diyakini
sebagaimana kaum Muslimin melihatnya, tetap merupakan ciri yang tak mungkin
dihapus. Oleh karena Islam diletakkan semata-mata sebagai obyek studi ilmiah,
maka Islam diperlakukan sama sebagaimana obek-obyek studi ilmiah lainnya. Ia
dapat dikritik secara bebas dan terbuka. Hal ini dapat dimengerti karena apa
yang mereka kehendaki adalah pemahaman, dan bukannya usaha mendukung Islam
sebagai sebuah agama dan jalan hidup. Penempatan Islam sebagai obyek studi
semacam ini, memungkinkan lahirnya pemahaman yang murni "ilmiah"
tanpa komitmen apa pun terhdap Islam. Penggunaan berbagai metode ilmiah
mutakhir yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, memungkinkan
lahirnya karya-karya studi Islam yang dari segi ilmiah cukup mengagumkan,
walaupun bukan tanpa cacat sama sekali.[8]
Studi Islam kontemporer di Barat, yang berusaha keras
menampilkan citra yang lebih adil dan penuh penghargaan terhadap Islam sebagai
agama dan peradaban, dengan mengandalkan berbagai pendekatan dan metode yang
lebih canggih dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, bahkan tidak jarang
dipelopori oleh sarjan-sarjana Muslim sendiri. Ini nampaknya menarik banyak
perhatian dari generasi baru pengkaji Islam negeri ini. Departemen Agama bahkan
memberikan dorongan lebih besar kepada dosen-dosen IAIN untuk melanjutkan studi
tingkat pascasarjana ke Barat, sambil juga tetap meneruskan tradisi pengiriman
dosen-dosennya ke Timur Tengah dan negeri-negeri muslim lainnya seperti Turki
dan Asia Selatan.[9]
Sementara di tempat lain, studi Islam di Timur Tengah
sangat menekankan pendekatan normatif dan ideologis terhadap Islam. Kajian
Islam di Timur bertitik tolak dari penerimaan terhadap Islam sebagai agama
wahyu yang bersifat transenden. Islam tidaklah dijadikan semata-mata sebagai
obyek studi ilmiah yang secara leluasa ditundukkan pada prinsip-prinsip yang
berlaku di dunia keilmuwan, tetapi diletakkan secara terhormat sesuai dengan
kedudukannya sebagai doktrin yang kebenarannya diyakini tanpa keraguan. Dengan
demikian, sikap ilmiah yang terbentuk adalah komitmen dan penghargaan.
Usaha-usaha studi ilmiah ditujukan untuk memperluas pemahaman, memperdalam
keyakinan dan menarik maslahatnya bagi kepentingan umat. Orentasi studi di
Timur lebih menekankan pada aspek doktrin disertai dengan pendekatan yang
cenderung normatif. Keterkaitan pada usaha untuk memelihara kesinambungan
tradisi dan menjamin stabilitas serta keseragaman bentuk pemahaman, sampai
batas-batas tertentu, menimbulkan kecenderungan untuk menekankan upaya
penghafalan daripada mengembangkan kritisisme.[10]
Meskipun kecenderungan ini tidak dominan, namun pengaruh kebangkitan
fundamentalisme di Timur Tengah telah mempengaruhi orientasi pendidikannya yang
lebih normatif.
Dua orientasi studi Islam yang dikembangkan di
lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), masih dijalankan sesuai dengan
tingkat kebutuhannya. Namun demikian, jika dilihat dari perkembangan yang
terjadi di UIN, IAIN, dan STAIN menunjukkan kecenderungan orientasi studi ke
Barat. Hal ini dapat dilihat dari semakin besarnya jumlah mahasiswa yang
dikirim ke universitas-universitas Barat, semacam McGill University, Leiden
University, Ohio Institute, dll. Pasca generasi Harun Nasution dan Mukti Ali
menunjukkan meningkatnya gelombang pengiriman mahasiswa ke Amerika Serikat,
Kanada, Australia, Belanda, Jerman, dan Perancis.
Tak heran jika dekade 80-an dan 90-an terjadi
perubahan besar dalam paradigma Islam di kampus-kampus agama (PTAI).
Kecenderungan pertama, terjadinya pergeseran dari kajian-kajian Islam
yang lebih bersifat normatif kepada yang lebih historis, sosiologis, dan
empiris. Pendekatan normatif dalam kajian Islam menghasilkan pandangan serba
idealistik terhadap Islam, yang pada gilirannya membuat kaum Muslimin melupakan
atau meniscayakan realitas dan, karena itu, sering mengakibatkan mereka
terjebak dalam "kepuasan batin" yang semu. Sebaliknya pendekatan
historis dan sosiologis membuka mata mahasiswa di lingkungan PTAI tentang
realitas-realitas yang dihadapi Islam dan kaum Muslimin dalam perkembanagn dan
perubahan masyarakat.
Kecenderungan kedua, orientasi keilmuwan yang
lebih luas. Jika pada masa sebelumnya orientasi keilmuwan cenderung ke Timur
Tengah, khususnya Universitas Al-Azhar, dalam dua dasawarsa terakhir kelihatan
semakin luas dan beragam. Dalam konteks ini, model pendekatan Barat terhadap
Islam mulai banyak bermunculan; yang pada pokoknya cenderung lebih bersifat
historis dan sosiologis. Pendekatan seperti ini mulai menemukan momentumnya
dengan kembalinya sejumlah tamatan universitas Barat untuk mengajar di UIN,
IAIN, STAIN, dll. Mereka kembali secara bergelombang, dimulai dengan generasi
Mukti Ali dan Harun Nasution dan kemudian disusul kelompok tamatan McGill
University. Gelombang selanjutnya adalah mereka yang dikirim belajar ke
beberapa universitas Amerika pada masa Menteri Agama, Munawir Sjadzali.[11]
Kendatipun orientasi studi Islam di Indonesia lebih
cenderung ke Barat, studi di Timur Tengah tetap memiliki nilai penting,
terutama dalam memahami aspek doktrinal, yang menjadi basis ilmu pengetahuan
dalam Islam. Dengan demikian, orientasi studi islam di Timur dan Barat tetap
signifikan dalam rangka pengembangan pendidikan Islam di lingkungan PTAI
seluruh Indonesia.
BAB III
PENUTUP
Studi
Islam adalah kajian tentang agama Islam dan aspek-aspek dari kebudayaan dan
masyarakat muslim. Berbeda dengan kajian yang biasa dilakukan dalam perspektif
pemeluk Islam pada umumnya, Islamic Studies menurutnya tidak bersifat normatif.
Dalam hal ini, Islam dipandang sebagai ajaran suatu agama yang sudah membentuk
komunitas dan budaya, dilepaskan dari keimanan dan kepercayaan.
Dalam aplikasinya, maka
kita belum melihat secara signifikan adanya
perpaduan antara studi Islam di Timur Tengah yang kaya akan penguasaan khazanah
Islam dengan studi Islam di Barat yang kaya metodologi. Prototype Fakultas
Dirasat Islamiyah yang benar-benar ingin meniru Universitas al-Azhar, ternyata
masih jauh dari harapan dengan terbatasnya pengelolaan, manajemen, kurikulum,
dan staf pengajar, sehingga untuk dapat memenuhi kualifikasi yang sama seperti
Universitas al-Azhar pun belum bisa dilakukan. Alih-alih, ingin mengembangkan
yang lebih baik dari Universitas
al-Azhar, jelas masih sangat kesulitan.
Program studi Interdisciplinary
Islamic Studies yang tampaknya ingin memindahkan McGill University di
Indonesia masih terjebak pada pendekatan Barat yang empiris, historis, dan
sosiologis. Padahal, studi Islam juga memerlukan penguasaan sumber-sumber Islam
yang paling otentik, yang tentu saja dapat dilakukan dengan penguasaan bahasa
Arab yang mumpuni. Bukan saja aspek metodologi yang penting dalam setiap
pendidikan Islam, tetapi penguasaan dasar keislaman perlu terus diupayakan
secara meyakinkan.
Jika model keduanya
dapat digabung dan dipadukan menjadi satu model pendidikan Islam di lingkungan
PTAI, kiranya dapat menjawab kekurangan masing-masing orientasi, yakni menguasa
khazanah intelektual Islam yang paling dasar dan otentik, juga menguasai
metodologi yang dapat digunakan untuk memecah masalah yang dihadapi di
tengah-tengah masyarakat. Apakah
orientasi "studi Islam yang normatif dan historis dapat dipadukan?” Tentu
saja, sangat bisa demi suksesnya pendidikan Islam di Indonesia, yang dapat
disejajarkan dengan pendidikan Islam di Timur Tengah dan Barat.
DAFTAR PUSTAKA
AH,
Atang dan Jaih Mubaraok, Metodologi Studi Islam, Bandung: Rosdakarya,
2000.
Azra,
Azyumardi, Pendidikan Islam, Tradisi dan
Modernisasi menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, 2000.
Mahendra, Yusril Ihza, Studi Islam di Timur dan Barat dan
Pengaruhnya terhadap Pemikiran Islam Indonesia, dalam Jurnal Ulumul Qur'an No. 3 Vol. 5 Tahun
1994.
Nasution,
Harun, Teologi Islam, Jakarta: UI-Press, 1986.
Sahrido,
Jamali, Metodologi Studi Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
[2] Atang AH dan Jaih Mubaraok, Metodologi Studi Islam,
(Bandung: Rosdakarya, 2000), h. 97.
[3] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta:
UI-Press, 1986), h. 7-10.
[4]
Jamali Sahroji, Metodologi Studi Islam..., h. 57.
[5]Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan
Modernisasi menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos, 2000), hlm. 229-230.
[6]
Ibid.
[7]
Ibid., h. 231.
[8]Yusril
Ihza Mahendra, Studi Islam di Timur dan Barat dan Pengaruhnya terhadap
Pemikiran Islam Indonesia, dalam
Jurnal Ulumul Qur'an No. 3 Vol. 5 Tahun 1994, hlm. 14.
[9]
Ibid., h. 17.
[10]
Ibid., h. 14.
[11]Azyumardi Azra, Pendidikan Islam,
Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru,op. cit., hlm. 172.
Trekz Titanium Headphones - iTanium-Art
BalasHapusDetachable Headphones, T-Shirt, and Other Controllers. titanium easy flux 125 amp welder The men\'s titanium wedding bands band has the mokume gane titanium exact titanium apple watch same name as the original titanium frame glasses band that made the guitar's iconic sound