Kamis, 06 Februari 2014

LABURA TANO HATUBUAN DULU BERDAH SEKARANG ENDENG-ENDENG “Najolo Bordah Sonnari Endeng-Endeng”



LABURA TANO HATUBUAN
DULU BERDAH SEKARANG ENDENG-ENDENG
“Najolo Bordah Sonnari Endeng-Endeng”
(SOSIALISME MENUJU MATERIALISME)


KAJIAN ADAT BUDAYA MASA LALU (NAJOLO)
Migrasi penduduk dari daerah Toba (Tapanuli Utara) ke arah timur dan berbaur dengan masyarakat Melayu serta Batak Mandailing yang bermigrasi dari selatan mengaburkan adat dan tradisi yang berlaku di daerah ini. Kajian ini berlaku bagi masyarakat Batak yang beragama Islam, karena suku Batak Toba yang beragama Kristen memiliki tradisi sendiri yang mungkin kadar metamorfosanya sangat kecil dibandingkan dengan adat Batak Toba di daerah aslinya.
Pada dekade tahun 1970-an hingga akhir tahun 1980-an, tidak begitu jelas tahun-tahun sebelum kelahiran penulis, sebagian masyarakat Batak Muslim di Labura memiliki tradisi dan adat budaya yang unik dan tidak ditemukan di daerah lain. Adat istiadat ini biasanya akan terlihat pada acara-acara perkawinan (walimatul ‘ursy) yang dikenal dengan istilah “PABAGAS BORU” (mengawinkan anak perempuan). Sebagai gambaran, acara perkawinan ditandai dengan datangnya calon mempelai dan keluarga calon mempelai pria ke rumah kediaman calon mempelai wanita di mana akan dilaksanakan acara akad nikah dan naik pelaminan untuk ditepungtawari oleh seluruh undangan dan keluarga serta esok harinya akan diadakan acara upah-upah, sejenis acara pemberian do’a restu dan kata-kata nasihat bagi pengantin, semoga kelak menjadi keluarga sakinah, mawaddah, warahmah. Itulah esensi dari acara naik pelaminan.
Akad nikah biasanya langsung dilaksanakan setelah kedatangan calon mempelai pria, umumnya pada sore hari dan acara akad nikah akan tuntas sebelum malam hari (sebelum masuk waktu shalat maghrib). Selanjutnya, bila pengantin laki-laki berasal dari kampung lain, maka pihak penyelenggara acara yang biasanya disebut pihak “SUHUT” atau juga “SUHUT SIHABOLONAN” akan mencarikan rumah tetangga atau teman sekampung sebagai pangkalan dan penginapan bagi keluarga mempelai pria.
Malam hari sekitar pukul 21.00, acara naik pelaminan dimulai. Kedua mempelai yang baru saja resmi menikah sore tadi didudukkan bersanding di atas pelaminan didampingi oleh pendamping laki-laki dan perempuan yang sering diistilahkan sebagai “PANDONGANI”.
Penyambutan acara naik pelaminan ini ditandai dengan tampilnya sekelompok pemain zikir berdah memakai rebana sedikitnya 6 personil. Pemain zikir berdah ini telah terlebih dahulu memulai acara zikir yang berkumandang tanpa alat musik, baru kemudian pengantin naik pelaminan.
Selanjutnya acara menortor (menarikan bunga yang disebut “BUNGA INAI”),  bunga buatan dari kertas diletakkan di dalam botol mirip botol kecap atau botol minuman dari kaca yang dihias sedemikian rupa. Penentuan siapa yang akan menortor diatur oleh seorang MC atau protokol berdasarkan data yang dimilikinya dalam daftar menurut urutan kekerabatan. Urutan tersebut mencakup:
  1. Suhut (keluarga penyelenggara pesta)
  2. Hula-hula atau keluarga dari pihak keluarga ibu si penyelenggara atau keluarga pihak istri si penyelenggara.
  3. Anak boru atau keluarga penyelenggara dari sisi perempuan
Sistem kekerabatan ini tentunya menggambarkan masih adanya peristilahan “DALIHAN NATOLU” yang diangkat dari tatanan kekerabatan suku Batak.
Alunan lagu pengiring menortor ini disebut “BERDAH” atau disebut juga oleh masyarakat sebagai “BORDAH” mengumandangkan lagu pengiring yang boleh dipilih oleh si penortor. Jumlah penortor pada awalnya terdiri dari 1 atau 2 orang, lalu kemudian menjadi ramai karena diikuti oleh rekan serumpunnya, misalnya posisi seorang penortor adalah pihak hula-hula, maka siapa saja yang merasa pada posisi hula-hula boleh ikut menortor dan pengantin pun biasanya didaulat untuk ikut serta menortor.
Tradisi memberikan ulos atau mangulosi dalam adat Batak Toba di dalam adat ini juga ada pada saat menortor, namun interprestasinya berbeda. Ulos diganti dengan kain sarung atau kain panjang/pulikat sebagaimana terdapat dalam tradisi dari adat Mandailing yang disebut “ABIT’ dan “SALENDANG”. Interpretasi yang lebih jauh lagi diganti dengan sejumlah uang yang diserahkan sambil menortor kepada tuan rumah (biasanya ayah si pengantin perempuan).
Jumlah uang yang diserahkan tidaklah mempunyai ketentuan, namun tentunya disesuaikan dengan kemampuan ekonomi masing-masing. Tidak ada pencatatan atas jumlah uang yang diserahkan. Bagi warga yang ekonominya lumayan baik, tentu saja mampu memberi dalam jumlah yang lebih besar. Tradisi memberikan abit, salendang atau pun uang tidaklah menjadi sebuah keharusan. Seseorang tidak dilarang menghadiri pesta perkawinan walaupun tidak mampu memberikan apa-apa kecuali do’a atau diistilahkan “PASU-PASU” bagi pengantin.
Acara menortor pada malam hari tersebut bisa berakhir sampai pukul 03.00 WIB dini hari. Rombongan penutup biasanya diisi oleh pihak muda-mudi sebagai tanda perpisahan dan selamat jalan bagi rekannya yang mendahului mereka menikah. Lagu-lagu yang dipilih oleh pemain berdah pun mempunyai khas untuk acara penutup ini, yakni berjudul “IDONG-IDONG” yang berisi pesan-pesan perpisahan dan do’a kepada pengantin.
Bila mengamati lirik/syair lagu dari tembang pengiring yang dilantunkan oleh pemain berdah, dapat disimpulkan bahwa acara ini lebih dominan kepada adat Mandailing karena lagunya berbahasa Mandailing.
Keseokan harinya, pesta berlanjut. Ketika matahari merambat naik dan semakin terik, pengantin yang didandani pakaian teluk belanga (pakaian khas adat Melayu) diarak keluar rumah menuju halaman luas di perkampungan. Berjarak sekitar 100 meter dari rumah tempat pelaminan berada, dibuat sebuah anjungan darurat yang terbuat dari bambu, mirip seperti pelaminan berhiaskan kain panjang dan janur (daun kelapa yang masih muda). Anjungan ini diberi nama “NACAR”. Pengunjung ramai berkumpul dan berkeliling membentuk lingkaran. Dua pasang pemain pencak silat telah dipersiapkan. Dua orang persis berada di depan pengantin dan dua orang lagi berada di depan nacar. Diiringi gendang dari pemain zikir berdah, pemain pencak silat pun mulai beraksi semakin mendekat ke nacar disusul oleh pengantin dan keluarga pendampingnya  berjalan pelan-pelan mengikuti pemain pencak silat yang pada akhirnya kedua pasang pemain pencak silat itu pun bertemu di depan nacar dan mengakhirinya dengan bersalaman, bersamaan dengan itu, pengantin pun tiba di nacar dan duduk berdampingan. Acara selanjutnya adalah pemberian tepung tawar kepada pengantin sesuai urutan kekerabatan (suhut, hula-hula dan anak boru) dipandu oleh protokol.
Usai acara tepung tawar di nacar, pengantin kembali diarak ke rumah dan menuju pelaminan. Setelah pengantin duduk di pelaminan, acara tortor kembali digelar untuk sesi terakhir. Namun acara menortor pada siang ini hanya sebentar dan dilanjutkan dengan acara upah-upah. Di hadapan pengantin terletak daging upah-upah dari kambing yang telah disembelih semalam sore. Penyampaian kata upah-upah biasanya dimulai dari keluarga terdekat yang biasanya berisi do’a dan nasihat kepada pengantin dalam menjalani hidup berumah tangga.
Usai acara upah-upah, pengantin turun dari pelaminan. Dilanjutkan dengan acara pamitan kepada keluarga karena pengantin wanita pada sore hari itu juga dibawa oleh pengantin pria ke rumahnya di kampung halamannya. Acara pamitan ini sekaligus menutup acara pesta perkawinan atau acara pabagas boru tersebut.
Seperti itulah illustrasi acara adat istiadat pabagas boru bagi masyarakat Batak Muslim di Labura sebelum tahun 90-an. Namun berbanding situasi saat ini, banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi baik dari segi mata acara maupun hakikat dari adat setempat yang mengalami metamorfosis.
Dari serangkaian acara pabagas boru ala masyarakat Batak Muslim Labura ini, kelihatan bahwa acara tersebut mengadopsi tradisi tiga suku sekaligus, yakni Melayu, Batak Toba dan Batak Mandailing. Pencamburbauran tradisi tersebut membuat adat yang berlaku tersebut menjadi kabur dan tidak kelihatan identitas pribadinya. Namun, anggaplah bahwa adat tersebut sebagai adat tersendiri yang telah baku tanpa harus mengklaim bahwa adat ini adalah milik suku Batak Toba atau milik suku Melayu atau milik suku Batak Mandailing. Persoalan yang akan dibahas di sini adalah metamorfosa yang saat ini terjadi dan nyaris meninggalkan makna dan hakikat acara pabagas boru itu sendiri.
Saat ini, zikir berdah telah tiada. Zikir berdah telah diubah dan ditinggalkan dengan munculnya grup model baru bernama “Endeng-Endeng”. Mendengar kata “endeng-endeng”, yang terlintas di benak kita adalah kebudayaan adat Mandailing yang disertai gendang dan suling dengan lagu-lagu bersyair bahasa Mandailing. Isi liriknya adalah do’a bagi pengantin. Namun tidak demikian halnya, meskipun tidak boleh dinafikan bahwa ada beberapa lagu yang juga mengandung isi yang sama dengan esensi endeng-endeng ala Batak Mandailing.
Endeng-endeng yang ada di Labura ini memakai alat organ didampingi oleh gendang dan tamborin. Lagu-lagunya bukan saja lagu endeng-endeng melainkan lagu dangdut, lagu jawa seperti misalnya Lagu Gundul Pacul bahkan lagu India yang jauh meninggalkan hakikat dan koridor walimatul ‘ursy, atau menambah wacana baru dengan menyertakan nuansa kejawaan atau keiindiaan. Orientasinya bukan lagi adat, melainkan “happy dan enjoy”. Lagu apa pun jadi, asal bisa membuat senang dan acara menortor menjadi lebih antusias dan semarak. Tortor yang dilakukan pun terkadang seperti gaya orang mabuk di Diskotik, bergerak bebas sesuka hati. Selangkah lagi bermetamorfosis, endeng-endeng ini tidak mustahil menjadi ajang hedonisme, di mana para pemain endeng-endeng dan penortor sama-sama mabuk minum arak, karena orientasinya adalah enjoy, mirip seperti pesta merayakan tahun kelahiran dewa matahari di jaman kerajaan Romawi ribuan tahun yang lalu. Apakah adat istiadat masyarakat ini masih dalam tahap pencarian jati diri? Siapakah yang bertanggungjawab atas keutuhan, keberhasilan dan konformitas adat istiadat ini? Sangat sulit menemukan jawabnya. Penulis kurang memahami apakah di Toba atau di Mandailing ada komite atau semacam dewan yang mengawasi adat istiadat seperti yang ada di Daerah Istimewa Aceh. Yang pasti, di Labura tidak ada komite yang melindungi originalitas adat seperti ini. Hal ini sangat masuk akal, karena memang apa dan bagaimana patokan adat yang berlaku juga tidak pernah ada. Sehingga adat yang berlaku saat ini bergulir seperti bola di lapangan terbuka. Dia sangat dinamis sesuai dengan perkembangan zaman dan keinginan komunitasnya.

KAJIAN ADAT BUDAYA SEKARANG (SAONNARI)
Dari aspek sosialnya, walimatul ‘urusy yang ada sekarang telah bergerak jauh ke arah materialisme. Tradisi memberi sarung dan kain panjang masih terus berlanjut dan meningkat dari ketidakwajiban bergerak menjadi hampir wajib. Pemberian uang pada saat menortor saat ini menjadi hal WAJIB. Kalau tidak percaya, silahkan hadir di salah satu acara pabagas boru, anda akan melihat bahwa tidak ada satu orang pun yang tampil ikut menortor di depan pelaminan yang tidak menyerahkan sejumlah uang kepada pemilik acara. Bila seseorang tidak mempunyai uang, dia tidak akan menghadiri acara pesta adat tersebut. Jadi kesimpulannya, adat adalah uang. Yang tidak punya uang tidak beradat. Konyolnya, di setiap acara menortor, telah dipersiapkan panitia pendaftar yang akan mencatat berapa besar angka rupiah yang akan ditortorkannya. Hasil catatan ini akan menjadi dokumentasi bagi penyelenggara untuk menjadi panduan berapa besar yang akan dibayarkannya kepada orang lain, ketika orang  itu menyelenggarakan pesta. Jadi, PESTA ADAT telah berubah menjadi PESTA UANG. Inilah pembelajaran yang buruk tentang pergeseran nilai dan makna adat budaya di mata generasi baru, seolah-olah eksistensi adat budaya adalah sesuatu yang menyulitkan. Tidak sedikit terdengar suara-suara masyarakat yang mengeluhkan kesulitan di dalam adat yang berlaku saat ini. Terlebih bagi mereka yang berada pada tingkat ekonomi pas-pasan. Puncak kesulitannya adalah manakala penyelenggara pesta adalah saudara dekat, teman, tetangga atau kerabat akrab yang sangat tidak mungkin untuk tidak dihadiri. Ujung-ujungnya harus meminjam uang agar bisa menghadiri pesta pernikahan tersebut. Bayangkan, begitu sulitnya adat  di Labura saat ini.
Yang paling fatal dari dampak materialisasi adat ini adalah berubahnya niat suci untuk berwalimatul ‘ursy agar kelak anaknya yang menikah menjadi keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah dinodai oleh mimpi-mimpi untuk menerima uang dalam jumlah yang besar, apalagi dia sadar bahwa selama ini dia telah banyak mengeluarkan isi dompetnya di saat orang lain berpesta, sangatlah wajar bahwa dia dipengaruhi oleh harapan-harapan itu. Nah, apakah tujuan untuk menyelenggarakan acara walimatul ‘ursy dari aspek spritualnya akan tercapai? Tentu saja tidak. Karena materiaisme telah menguasai niat dan fikiran kita.
Bila dikaji dari peran adat, apapun definisi, batasan atau pengertian adat, tetaplah adat adalah lembaga yang harus bisa berperan memanusiakan manusia atau lembaga yang bisa membuat sesuatu yang sulit menjadi mudah, yang buruk menjadi baik, yang jelek menjadi cantik, yang lemah menjadi kuat, yang rusak menjadi benar, atau apa pun istilahnya, namun begitulah idealnya ADAT. Yang besar membantu yang kecil, yang kecil menghormati yang besar, sehingga tercipta kesetaraan dalam hidup manusia, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Itulah idealnya manusia yang memegang teguh adat. Jadi kesimpulannya, adat harus membuat manusia menjadi lebih baik. Manakala adat membuat manusia semakin sulit, sudah saatnya adat ditinggalkan. Untuk apa beradat, kalau akhirnya mempersulit bagi diri sendiri.

PENUTUP
Tidak jelasnya identitas adat budaya yang berlaku di komunitas Batak Muslim di Labura khususnya dalam hal pesta pabagas boru menjadi pemicu bergulirnya dinamika tanpa batas seperti bola bergulir di lapangan lepas, bergerak kemana saja arah yang diinginkan komunitasnya. Sangatlah perlu untuk merumuskan suatu kepastian adat budaya sehingga mempunyai standar pasti. Hal ini sesungguhnya dapat diwujudkan dengan membuat diskusi terbuka yang diikuti seluruh stakeholder termasuk pemuka-pemuka adat untuk mendapatkan sebuah kesepakatan tentang pola adat yang akan diterapkan.
Sudah saatnya mengembalikan hakikat adat budaya, yakni memudahkan kehidupan manusia dalam mencapai tujuan hidupnya, tidak sebaliknya adat membuat wacana baru yang mempersulit hidup dan ruang gerak manusia. Salah satu hal nyata adalah menghilangkan kesan materialisasi adat budaya ke arah sejatinya, yaitu mendudukkan setiap anggota masyarakat sama rata, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah untuk menjamin kepemilikan harkat dan martabat manusia sebagai hamba Allah tanpa eksklusivisme dan tirani.
Untuk menjaga kelestarian adat yang terbebas dari penyelewangan dan modifikasi yang mengarah pada larinya hakikat adat budaya, dipandang perlu untuk membentuk komite pengawasan adat budaya setempat.
Demikianlah tulisan ini disampaikan, semoga bermanfaat bagi kelestarian adat budaya di Labura demi tegaknya harkat dan martabat manusia sebagai makhluk berbudaya.

Selasa, 22 Oktober 2013

PENDIDIKAN ISLAM DALAM DAERAH GLOBAL

PENDIDIKAN ISLAM DALAM
DAERAH GLOBAL

Makalah Dipresentasikan Pada Seminar
Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam, Program Studi Pendidikan Islam
Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam

Oleh:
HADIB RITONGA
Dosen Pembimbing
Prof. DR. Djakfar Siddik, MA
http://ppsiainmedan.ac.id/wp-content/uploads/2012/05/IAIN-SU3.jpg

PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
DAFTAR ISI


DAFTAR ISI.........................................................................................................................1
BAB I  PENDAHULUAN...................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................3
A.    Pengertian Pendidikan Islam......................................................................................3
B.     Dasr-Dasar Pendidikan Islam.....................................................................................4
C.     Tujuan Pendidikan Islam...........................................................................................6
D.    Hakikat Globalisasi....................................................................................................6
E.     Problematika Pendidikan Islam Di Era Globalisasi...................................................7
F.      Solusi Problematika Pendidikan Islam Di Era Globalisasi........................................8
G.    Orientasi Pendidikan Islam Di Era Globalisasi........................................................14
BAB III PENUTUP.............................................................................................................16
DAFTAR BACAAN...........................................................................................................18














BAB I
PENDAHULUAN

Awal abad ke-21 ini ditandai oleh perubahan yang mencengangkan. Kenyataan tersebut telah menghadapkan masalah agama kepada suatu kesadaran kolektif, bahwa penyesuaian struktural dan kultural pemahaman agama adalah suatu keharusan. Hal ini hendaknya tidak dilihat sebagai suatu upaya untuk menyeret agama, untuk kemudian diletakkan dalam posisi sub-ordinate dalam hubungannya dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang sedemikian cepat itu.  Alih-alih, hal itu hendaknya dipahami sebagai usaha untuk menengok kembali keberagaman masyarakat beragama. Dengan demikian revitalisasi kehidupan keberagamaan tidak kehilangan konteks dan makna empiriknya. Keharusan tersebut dapat juga diartikan sebagai jawaban masyarakat beragama terhadap perubahan yang terjadi secara cepat.
Sebagai agen perubahan sosial, pendidikan Islam yang berada dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi dewasa ini dituntut untuk mampu memainkan perannya secara dinamis dan proaktif. Kehadirannya diharapkan mampu membawa perubahan dan kontribusi yang berarti bagi perbaikan umat Islam, baik pada tataran intelektual teoritis maupun praktis. Pendidikan Islam bukan sekadar proses penanaman nilai moral untuk membentengi diri dari ekses negatif globalisasi. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force) dari himpitan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan sosial budaya dan ekonomi.
Globalisasi berpandangan bahwa dunia didominasi oleh perekonomian dan munculnya hegemoni pasar dunia kapitalis dan ideologi neoliberal yang menopangnya. Untuk mengimbangi derasnya arus globalisasi perlu dikembangkan dan ditanamkan karakter nasionalisme guna menghadapi dampak negatif dari arus globalisasi.















BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan adalah proses mempersiapkan masa depan anak didik dalam mencapai tujuan hidup secara efektif dan efisien.[1] Sedangkan Pendidikan Islam menurut para tokoh ialah sebagai berikut :
Pertama, menurut Ahmadi mendefinisikan Pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) yang sesuai dengan norma Islam. Kedua, menurut Syekh Musthafa Al-Ghulayani memaknai pendidikan adalah menanamkan akhlak mulia dalam jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat, sehingga menjadi kecenderungan jiwa yang membuahkan keutamaan kebaikan serta cinta belajar yang berguna bagi tanah air.
Dalam definisi diatas terlihat jelas bahwa pendidikan Islam itu membimbing anak didik dalam perkembangan dirinya, baik jasmani maupun rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama pada anak didik nantinya yang didasarkan pada hukum-hukum islam.[2]
2. Dasar-dasar Pendidikan Islam
Menurut Samsul Nizar membagi dasar pendidikan islam menjadi tiga sumber, yaitu sebagai berikut :
a. Al Qur’an
Al Qur’an adalah kalam Allah swt. Yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dalam bahasa arab guna menjalankan jalan hidup yang membawa kemaslahatan bagi umat manusia (rahmatan lil ‘alamin), baik di dunia maupun di akhirat.
Al Qur’an sebagai petunjuk ( Hudan ) ditunjukkan dalam firmanNya :
ان هذا القرأن يهدى للتى هي أقوم ويبشر المؤمنين الذين يعملون الصلحت أن لهم أجرا كبيرا

Artinya :         
Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar, (Al Israa’ ayat 9)
Pelaksanaan pendidikan islam harus senantiasa mengacu pada sumber yang termuat dalam Al Qur’an. Dengan berpegang pada nilai-nilai tertentu dalam Al Qur’an – teruatama dalam pelaksanaan pendidikan islam – umat islam akan mampu mengarahkan dan mengantarkan umat manusia menjadi kreatif dan dinamis serta mampu mencapai esensi nilai-nilai ubudiyah kepada khaliknya.[3]
b. Sunnah
Keberadaan Sunnah Nabi tidak lain adalah sebagai penjelas dan penguat hukum-hukum yang ada didalam Al Qur’an, sekaligus sebagai pedoman bagi kemaslahatan hidup manusia dalam semua aspeknya. Eksistensinya merupakan sumber inspirasi ilmu pengetahuan yang berisikan keputusan dan penjelasan Nabi dari pesan-pesan illahiyah yang tidak terdapat didalam Al Qur’an, maupun yang terdapat didalam Al Qur’an tetapi masih memerlukan penjelasan lebih lanjut secara terperinci.[4]
c. Ijtihad
Pentingnya Ijtihad tidak lepas dari kenyataan bahwa pendidikan Islam di satu sisi dituntut agar senantiasa sesuai dengan dinamika zaman dan IPTEK yang berkembang dengan cepat. Sementara disisi lain, dituntut agar tetap mempertahankan kekhasannya sebagai sebuah sistem pendidikan yang berpijak pada nilai-nilai agama. Ini merupakan masalah yang senantiasa menuntut Mujtahid Muslim di bidang pendidikan untuk selalu berijtihad sehingga teori pendidikan islam senantiasa relevan dengan tuntutan zaman dan kemajuan IPTEK.[5]
3. Tujuan Pendidikan Islam
Menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly, tujuan pendidikan islam menurut Al Qur’an meliputi (1) menjelaskan posisi peserta didik sebagai manusia diantara makhluk Allah lainnya dan tanggung jawabnya dalam kehidupan ini, (2) menjelaskan hubungannya sebagai makhluk sosial dan tanggung jawabnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. (3) menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan tugasnya untuk mengetahui hikmah penciptaan dengan cara memakmurkan alam semesta, (4) menjelaskan hubungannya dengan Kholik sebagai pencipta alam semesta.[6]
4. Hakikat Globalisasi
Globalisasi secara harfiah berasal dari kata global yang berarti sedunia atau sejagat. Menurut A. Qodry Azizi, menyebut bahwa era globalisasi berarti terjadinya pertemuan dan gesekan nilai-nilai budaya dan agama diseluruh dunia yang memanfaatkan jasa komunikasi, transformasi, dan informasi yang merupakan hasil modernisasi di bidang teknologi.
Proses global ini pada hakikatnya bukan sekedar banjir barang, melainkan akan melibatkan aspek yang lebih luas, mulai dari keuangan, pemilikan modal, pasar, teknologi, daya hidup, bentuk pemerintahan, sampai kepada bentuk-bentuk kesadaran manusia.[7]
5. Problematika Pendidikan Islam Di Era Global
Pendidikan Islam diakui keberadaannya dalam sistem pendidikan yang terbagi menjadi tiga hal. Pertama, Pendidikan Islam sebagai lembaga diakuinya keberadaan lembaga pendidikan Islam secara Eksplisit. Kedua, Pendidikan Islam sebagai Mata Pelajaran diakuinya pendidikan agama sebagai salah satu pelajaran yang wajib diberikan pada tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Ketiga, Pendidikan Islam sebagai nilai (value) yakni ditemukannya nilai-nilai islami dalam sistem pendidikan.[8]
Walaupun demikian, pendidikan islam tidak luput dari problematika yang muncul di era global ini. Terdapat dua faktor dalam problematika tersebut, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1. Faktor Internal
a. Relasi Kekuasaan dan Orientasi Pendidikan Islam
Tujuan pendidikan pada dasarnya hanya satu, yaitu memanusiakan manusia, atau mengangkat harkat dan martabat manusia atau human dignity, yaitu menjadi khalifah di muka bumi dengan tugas dan tanggung jawab memakmurkan kehidupan dan memelihara lingkungan. Tujuan pendidikan yang selama ini diorientasikan memang sangat ideal bahkan, lantaran terlalu ideal, tujuan tersebut tidak pernah terlaksana dengan baik.
Orientasi pendidikan, sebagaimana yang dicita-citakan secara nasional, barangkali dalam konteks era sekarang ini menjadi tidak menentu, atau kabur kehilangan orientasi mengingat adalah tuntutan pola kehidupan pragmatis dalam masyarakat indonesia. Hal ini patut untuk dikritisi bahwa globalisasi bukan semata mendatangkan efek positif, dengan kemudahan-kemudahan yang ada, akan tetapi berbagai tuntutan kehidupan yang disebabkan olehnya menjadikan disorientasi pendidikan. Pendidikan cenderung berpijak pada kebutuhan pragmatis, atau kebutuhan pasar lapangan, kerja, sehingga ruh pendidikan islam sebagai pondasi budaya, moralitas, dan social movement (gerakan sosial) menjadi hilang.[9]
b. Masalah Kurikulum
Sistem sentralistik terkait erat dengan birokrasi atas bawah yang sifatnya otoriter yang terkesan pihak “bawah” harus melaksanakan seluruh keinginan pihak “atas”. Dalam system yang seperti ini inovasi dan pembaruan tidak akan muncul. Dalam bidang kurikulum sistem sentralistik ini juga mempengaruhi output pendidikan. Tilaar menyebutkan kurikulum yang terpusat, penyelenggaraan sistem manajemen yang dikendalikan dari atas telah menghasilkan output pendidikan manusia robot. Selain kurikulum yang sentralistik, terdapat pula beberapa kritikan kepada praktik pendidikan berkaitan dengan saratnya kurikulum sehingga seolah-olah kurikulum itu kelebihan muatan. Hal ini mempengaruhi juga kualitas pendidikan. Anak-anak terlalu banyak dibebani oleh mata pelajaran.[10]
Dalam realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum Pendidikan Islam tersebut mengalami perubahan-perubahan paradigma, walaupun paradigma sebelumnya tetap dipertahankan. Hal ini dapat dicermati dari fenomena berikut : (1) perubahan dari tekanan pada hafalan dan daya ingat tentang teks-teks dari ajaran-ajaran agama islam, serta disiplin mental spiritual sebagaimana pengaruh dari timur tengah, kepada pemahaman tujuan makna dan motivasi beragama islam untuk mencapai tujuan pembelajaran Pendidikan Islam. (2) perubahan dari cara berfikir tekstual, normatif, dan absolutis kepada cara berfikir historis, empiris, dan kontekstual dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran dan nilai-nilai islam.(3) perubahan dari tekanan dari produk atau hasil pemikiran keagamaan islam dari para pendahulunya kepada proses atau metodologinya sehingga menghasilkan produk tersebut. (4) perubahan dari pola pengembangan kurikulum pendidikan islam yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan menyusun isi kurikulum pendidikan islam ke arah keterlibatan yang luas dari para pakar, guru, peserta didik, masyarakat untuk mengidentifikasikan tujuan Pendidikan Islam dan cara-cara mencapainya.[11]
c. Pendekatan/Metode Pembelajaran
Peran guru atau dosen sangat besar dalam meningkatkan kualitas kompetensi siswa/mahasiswa. Dalam mengajar, ia harus mampu membangkitkan potensi guru, memotifasi, memberikan suntikan dan menggerakkan siswa/mahasiswa melalui pola pembelajaran yang kreatif dan kontekstual (konteks sekarang menggunakan teknologi yang memadai). Pola pembelajaran yang demikian akan menunjang tercapainya sekolah yang unggul dan kualitas lulusan yang siap bersaing dalam arus perkembangan zaman.
Siswa atau mahasiswa bukanlah manusia yang tidak memiliki pengalaman. Sebaliknya, berjuta-juta pengalaman yang cukup beragam ternyata ia miliki. Oleh karena itu, dikelas pun siswa/mahasiswa harus kritis membaca kenyataan kelas, dan siap mengkritisinya. Bertolak dari kondisi ideal tersebut, kita menyadari, hingga sekarang ini siswa masih banyak yang senang diajar dengan metode yang konservatif, seperti ceramah, didikte, karena lebih sederhana dan tidak ada tantangan untuk berfikir.
d. Profesionalitas dan Kualitas SDM
Salah satu masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia sejak masa Orde Baru adalah profesionalisme guru dan tenaga pendidik yang masih belum memadai. Secara kuantitatif, jumlah guru dan tenaga kependidikan lainnya agaknya sudah cukup memadai, tetapi dari segi mutu dan profesionalisme masih belum memenuhi harapan. Banyak guru dan tenaga kependidikan masih unqualified, underqualified, dan mismatch, sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar kualitatif.[12]
e. Biaya Pendidikan
Faktor biaya pendidikan adalah hal penting, dan menjadi persoalan tersendiri yang seolah-olah menjadi kabur mengenai siapa yang bertanggung jawab atas persoalan ini. Terkait dengan amanat konstitusi sebagaimana termaktub dalam UUD 45 hasil amandemen, serta UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang memerintahkan negara mengalokasikan dana minimal 20% dari APBN dan APBD di masing-masing daerah, namun hingga sekarang belum terpenuhi. Bahkan, pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan genap 20% hingga tahun 2009 sebagaimana yang dirancang dalam anggaran strategis pendidikan.
2. Faktor Eksternal
a. Dichotomic
Masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan islam adalah dichotomy dalam beberapa aspek yaitu antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum, antara Wahyu dengan Akal setara antara Wahyu dengan Alam. Munculnya problem dikotomi dengan segala perdebatannya telah berlangsung sejak lama. Boleh dibilang gejala ini mulai tampak pada masa-masa pertengahan. Menurut Rahman, dalam melukiskan watak ilmu pengetahuan islam zaman pertengahan menyatakan bahwa, muncul persaingan yang tak berhenti antara hukum dan teologi untuk mendapat julukan sebagai mahkota semua ilmu.
b. To General Knowledge
Kelemahan dunia pendidikan islam berikutnya adalah sifat ilmu pengetahuannya yang masih terlalu general/umum dan kurang memperhatikan kepada upaya penyelesaian masalah (problem solving). Produk-produk yang dihasilkan cenderung kurang membumi dan kurang selaras dengan dinamika masyarakat. Menurut Syed Hussein Alatas menyatakan bahwa, kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan, mendefinisikan, menganalisis dan selanjutnya mencari jalan keluar/pemecahan masalah tersebut merupakan karakter dan sesuatu yang mendasar kualitas sebuah intelektual. Ia menambahkan, ciri terpenting yang membedakan dengan non-intelektual adalah tidak adanya kemampuan untuk berfikir dan tidak mampu untuk melihat konsekuensinya.
c. Lack of Spirit of Inquiry
Persoalan besar lainnya yang menjadi penghambat kemajuan dunia pendidikan islam ialah rendahnya semangat untuk melakukan penelitian/penyelidikan. Syed Hussein Alatas merujuk kepada pernyataan The Spiritus Rector dari Modernisme Islam, Al Afghani, Menganggap rendahnya “The Intellectual Spirit” (semangat intelektual) menjadi salah satu faktor terpenting yang menyebabkan kemunduran Islam di Timur Tengah.
d. Memorisasi
Rahman menggambarkan bahwa, kemerosotan secara gradual dari standar-standar akademis yang berlangsung selama berabad-abad tentu terletak pada kenyataan bahwa, karena jumlah buku-buku yang tertera dalam kurikulum sedikit sekali, maka waktu yang diperlukan untuk belajar juga terlalu singkat bagi pelajar untuk dapat menguasai materi-materi yang seringkali sulit untuk dimengerti, tentang aspek-aspek tinggi ilmu keagamaan pada usia yang relatif muda dan belum matang. Hal ini pada gilirannya menjadikan belajar lebih banyak bersifat studi tekstual daripada pemahaman pelajaran yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan dorongan untuk belajar dengan sistem hafalan (memorizing) daripada pemahaman yang sebenarnya. Kenyataan menunjukkan bahwa abad-abad pertengahan yang akhir hanya menghasilkan sejumlah besar karya-karya komentar dan bukan karya-karya yang pada dasarnya orisinal.
e. Certificate Oriented
Pola yang dikembangkan pada masa awal-awal Islam, yaitu thalab al’ilm, telah memberikan semangat dikalangan muslim untuk gigih mencari ilmu, melakukan perjalanan jauh, penuh resiko, guna mendapatkan kebenaran suatu hadits, mencari guru diberbagai tempat, dan sebagainya. Hal tersebut memberikan isyarat bahwa karakteristik para ulama muslim masa-masa awal didalam mencari ilmu adalah knowledge oriented. Sehingga tidak mengherankan jika pada masa-masa itu, banyak lahir tokoh-tokoh besar yang memberikan banyak konstribusi berharga, ulama-ulama encyclopedic, karya-karya besar sepanjang masa. Sementara, jika dibandingkan dengan pola yang ada pada masa sekarang dalam mencari ilmu menunjukkan kecenderungan adanya pergeseran dari knowledge oriented menuju certificate oriented semata. Mencari ilmu hanya merupakan sebuah proses untuk mendapatkan sertifikat atau ijazah saja, sedangkan semangat dan kualitas keilmuan menempati prioritas berikutnya.[13]
6. Solusi Problematika Pendidikan Islam Di Era Global
Pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi. Pendidikan tidak mungkin menisbikan proses globalisasi yang akan mewujudkan masyarakat global ini. Dalam menuju era globalisasi, indonesia harus melakukan reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif, dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Untuk itu, pendidikan harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan, dan tanggung jawab. Disamping itu, pendidikan harus menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang menyebabkan kegagalan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.[14]
Selain itu, program pendidikan harus diperbaharui, dibangun kembali atau dimoderenisasi sehingga dapat memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulkan kepadanya. Sedangkan solusi pokok menurut Rahman adalah pengembangan wawasan intelektual yang kreatif dan dinamis dalam sinaran dan terintegrasi dengan Islam harus segera dipercepat prosesnya. Sementara itu, menurut Tibi, solusi pokoknya adalah secularization, yaitu industrialisasi sebuah masyarakat yang berarti diferensiasi fungsional dari struktur sosial dan sistem keagamaannya.[15]
Berbagai macam tantangan tersebut menuntut para penglola lembaga pendidikan, terutama lembaga pendidikan Islam untuk melakukan nazhar atau perenungan dan penelitian kembali apa yang harus diperbuat dalam mengantisipasi tantangan tersebut, model-model pendidikan Islam seperti apa yang perlu ditawarkan di masa depan, yang sekiranya mampu mencegah dan atau mengatasi tantangan tersebut. Melakukan nazhar dapat berarti at-taammul wa al’fahsh, yakni melakukan perenungan atau menguji dan memeriksanya secara cermat dan mendalam, dan bias berarti taqlib al-bashar wa al-bashirah li idrak al-syai’ wa ru’yatihi, yakni melakukan perubahan pandangan (cara pandang) dan cara penalaran (kerangka pikir) untuk menangkap dan melihat sesuatu, termasuk di dalamnya adalah berpikir dan berpandangan alternatif serta mengkaji ide-ide dan rencana kerja yang telah dibuat dari berbagai perspektif guna mengantisipasi masa depan yang lebih baik.[16]
7. Orientasi Pendidikan Islam Di Era Global
Menurut Ahmad Tantowi, dengan adanya era globalisasi ini perlu adanya rumusan orientasi pendidikan Islam yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Orientasi tersebut ialah sebagai berikut :
1. Pendidikan Islam sebagai Proses Penyadaran
Pendidikan Islam harus diorientasikan untuk menciptakan “kesadaran kritis” masyarakat. Sehingga dengan kesadaran kritis ini akan mampu menganalisis hubungan faktor-faktor sosial dan kemudian mencarikan jalan keluarnya. Hubungan antara kesadaran tersebut dengan pendidikan Islam dan globalisasi ialah agar umat Islam bisa melihat secara kritis bahwa implikasi-implikasi dari globalisasi bukanlah sesuatu yang given atau takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan, akan tetapi sebagai konsekuensi logis dari sistem dan struktur globalisasi itu sendiri.
2. Pendidikan Islam sebagai Proses Humanisasi
Proses Humanisasi dalam pendidikan Islam dimaksudkan sebagai upaya mengembangkan manusia sebagai makhluk hidup yang tumbuh dan berkembang dengan segala potensi (fitrah) yang ada padanya. Manusia dapat dibesarkan (potensi jasmaninya) dan diberdayakan (ptoensi rohaninya) agar dapat berdiri sendiri dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
3. Pendidikan Islam sebagai Pembinaan Akhlak al-Karimah
Akhlak merupakan domain penting dalam kehidupan masyarakat, apalagi di era globalisasi ini. Tidak adanya akhlak dalam tata kehidupan masyarakat akan menyebabkan hancurnya masyarakat itu sendiri. Hal ini bisa diamati pada kondisi yang ada di negeri ini. Menurut Abuddin Nata, hal seperti ini pada awalnya hanya menerpa sebagian kecil elit politik (penguasa), tetapi kini ia telah menjalar kepada masyarakat luas, termasuk kalangan pelajar.
Bagi pendidikan Islam, masalah pembinaan akhlak sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Sebab akhlak memang merupakan misi utama agama Islam. Hanya saja, akibat penetrasi budaya sekuler barat, belakangan ini masalah pembinaan akhlak dalam institusi pendidikan Islam tampak lemah. Untuk itu, pendidikan Islam harus dikembalikan kepada fitrahnya sebagai pembinaan akhlaq al-karimah, dengan tanpa mengesampingkan dimensi-dimensi penting lainnya yang harus dikembangkan dalam institusi pendidikan, baik formal, informal, maupun nonformal.
Pembinaan akhlak sebagai (salah satu) orientasi pendidikan Islam di era globalisasi ini adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Sebab eksis tidaknya suatu bangsa sangat ditentukan oleh akhlak masyarakatnya.[17]




















BAB III
KESIMPULAN
Dari beberapa penjelasan singkat diatas, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1. Hakikat pendidikan Islam ialah untuk membimbing anak didik dalam perkembangan dirinya, baik jasmani maupun rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama pada anak didik nantinya yang didasarkan pada hukum-hukum islam. Sedangkan hakikat dari Globalisasi bukan sekedar banjir barang, melainkan akan melibatkan aspek yang lebih luas, mulai dari keuangan, pemilikan modal, pasar, teknologi, daya hidup, bentuk pemerintahan, sampai kepada bentuk-bentuk kesadaran manusia.
2. Problematika Pendidikan Islam di era global ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor internal yang didalmnya ada : Relasi Kekuasaan dan Orientasi Pendidikan Islam, Masalah Kurikulum, Pendekatan/Metode Pembelajaran, Profesionalitas dan Kualitas SDM, dan Biaya Pendidikan. Dan faktor eksternal yang meliputi Dichotomic, To General Knowledge, Lack of Spirit of Inquiry, Memorisasi, dan Certificate Oriented.
3. Solusi dari problematika tesebut ialah pendidikan Islam harus dikembalikan kepada fitrahnya dengan tanpa mengesampingkan dimensi-dimensi penting lainnya yang harus dikembangkan dalam institusi pendidikan, baik formal, informal, maupun nonformal. Serta pendidikan harus dirancang sedemikian rupa yang memungkinkan para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan, dan tanggung jawab.
4. Pendidikan Islam di Era Global ini diorientasikan bahwa Pendidikan Islam sebagai Proses Penyadaran, sebagai Proses Humanisasi, dan sebagai Pembinaan Akhlak al-Karimah




















DAFTAR PUSTAKA

Ali, Hasmiyati Gani, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Quantum Teaching Ciputat Press Group, 2008
Daulay, Haidar Putra, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, Jakarta : Rineka Cipta, 2009
, Pendidikan Islam : Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2004
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam : mengurai benang kusut dunia pendidikan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006
, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007
Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, Jakarta : Ciputat Pers, 2002
Rembangy, Musthofa, Pendidikan Transformatif : Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi, Yogyakarta : Teras, 2010
SM, Isma’il, Strategi Pembelajaran Islam Berbasis PAIKEM : Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan, Semarang : Rasail, 2008
Tantowi, Ahmad, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2009
Wahid, Abdul, Isu-isu Kontemporer Pendidikan Islam, Semarang : Need’s Press, 2008
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Jogjakarta : Gigraf Publishing, 2000



[1]Hasmiyati Gani Ali, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Quantum Teaching Ciputat Press Group, 2008), hlm. 13
[2]Isma’il SM, Strategi Pembelajaran Islam Berbasis PAIKEM : Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan, (Semarang : Rasail, 2008), Cet. I, hlm. 34-36
[3]Ahmad Tantowi, Pendidikan Islam di Era Transformasi Global, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2009), Cet. I, hlm. 15-16
[4] Ibid., h. 17.
[5] Ibid., h. 21.
[6] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), Cet. I, hlm. 36-37.
[7] Ahmad Tantowi, Op. Cit., hlm. 47-49
[8] Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009) Cet. I, hlm. 44-45.
[9] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 11
[10]Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif : Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi, (Yogyakarta : Teras, 2010), Cet. II, hlm. 20-21
[11]Muhaimain, op.cit., h. 11.
[12] Musthofa Rembangy, op.cit., h. 28.
[13]Abdul Wahid, Isu-isu Kontemporer Pendidikan Islam, (Semarang : Need’s Press, 2008), Cet. I, hlm. 14-23
[14]Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, (Jogjakarta : Gigraf Publishing, 2000) Cet. I, hlm. 90-91.
[15]Abdul Wahid, Op. Cit., hlm. 27-28
[16]Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam : mengurai benang kusut dunia pendidikan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 86-89
[17]Ahmad Tantowi, Op. Cit., hlm. 90-104