LABURA TANO HATUBUAN
DULU BERDAH SEKARANG ENDENG-ENDENG
“Najolo Bordah Sonnari Endeng-Endeng”
(SOSIALISME MENUJU MATERIALISME)
KAJIAN
ADAT BUDAYA MASA LALU (NAJOLO)
Migrasi
penduduk dari daerah Toba (Tapanuli Utara) ke arah timur dan berbaur dengan
masyarakat Melayu serta Batak Mandailing yang bermigrasi dari selatan
mengaburkan adat dan tradisi yang berlaku di daerah ini. Kajian ini berlaku
bagi masyarakat Batak yang beragama Islam, karena suku Batak Toba yang beragama
Kristen memiliki tradisi sendiri yang mungkin kadar metamorfosanya sangat kecil
dibandingkan dengan adat Batak Toba di daerah aslinya.
Pada
dekade tahun 1970-an hingga akhir tahun 1980-an, tidak begitu jelas tahun-tahun
sebelum kelahiran penulis, sebagian masyarakat Batak Muslim di Labura memiliki
tradisi dan adat budaya yang unik dan tidak ditemukan di daerah lain. Adat
istiadat ini biasanya akan terlihat pada acara-acara perkawinan (walimatul
‘ursy) yang dikenal dengan istilah “PABAGAS BORU” (mengawinkan
anak perempuan). Sebagai gambaran, acara perkawinan ditandai dengan datangnya
calon mempelai dan keluarga calon mempelai pria ke rumah kediaman calon
mempelai wanita di mana akan dilaksanakan acara akad nikah dan naik pelaminan
untuk ditepungtawari oleh seluruh undangan dan keluarga serta esok harinya akan
diadakan acara upah-upah, sejenis acara pemberian do’a restu dan kata-kata
nasihat bagi pengantin, semoga kelak menjadi keluarga sakinah, mawaddah,
warahmah. Itulah esensi dari acara naik pelaminan.
Akad
nikah biasanya langsung dilaksanakan setelah kedatangan calon mempelai pria,
umumnya pada sore hari dan acara akad nikah akan tuntas sebelum malam hari
(sebelum masuk waktu shalat maghrib). Selanjutnya, bila pengantin laki-laki
berasal dari kampung lain, maka pihak penyelenggara acara yang biasanya disebut
pihak “SUHUT” atau juga “SUHUT SIHABOLONAN” akan
mencarikan rumah tetangga atau teman sekampung sebagai pangkalan dan penginapan
bagi keluarga mempelai pria.
Malam
hari sekitar pukul 21.00, acara naik pelaminan dimulai. Kedua mempelai yang
baru saja resmi menikah sore tadi didudukkan bersanding di atas pelaminan
didampingi oleh pendamping laki-laki dan perempuan yang sering diistilahkan
sebagai “PANDONGANI”.
Penyambutan
acara naik pelaminan ini ditandai dengan tampilnya sekelompok pemain zikir
berdah memakai rebana sedikitnya 6 personil. Pemain zikir berdah ini telah
terlebih dahulu memulai acara zikir yang berkumandang tanpa alat musik, baru
kemudian pengantin naik pelaminan.
Selanjutnya
acara menortor (menarikan bunga yang disebut “BUNGA INAI”),
bunga buatan dari kertas diletakkan di dalam botol mirip botol kecap atau botol
minuman dari kaca yang dihias sedemikian rupa. Penentuan siapa yang akan
menortor diatur oleh seorang MC atau protokol berdasarkan data yang dimilikinya
dalam daftar menurut urutan kekerabatan. Urutan tersebut mencakup:
- Suhut (keluarga penyelenggara pesta)
- Hula-hula atau keluarga dari pihak keluarga ibu si penyelenggara atau keluarga pihak istri si penyelenggara.
- Anak boru atau keluarga penyelenggara dari sisi perempuan
Sistem
kekerabatan ini tentunya menggambarkan masih adanya peristilahan “DALIHAN
NATOLU” yang diangkat dari tatanan kekerabatan suku Batak.
Alunan
lagu pengiring menortor ini disebut “BERDAH” atau disebut juga oleh
masyarakat sebagai “BORDAH” mengumandangkan lagu pengiring yang
boleh dipilih oleh si penortor. Jumlah penortor pada awalnya terdiri dari 1
atau 2 orang, lalu kemudian menjadi ramai karena diikuti oleh rekan
serumpunnya, misalnya posisi seorang penortor adalah pihak hula-hula, maka
siapa saja yang merasa pada posisi hula-hula boleh ikut menortor dan pengantin
pun biasanya didaulat untuk ikut serta menortor.
Tradisi
memberikan ulos atau mangulosi dalam adat Batak Toba di dalam adat ini juga ada
pada saat menortor, namun interprestasinya berbeda. Ulos diganti dengan kain
sarung atau kain panjang/pulikat sebagaimana terdapat dalam tradisi dari adat
Mandailing yang disebut “ABIT’ dan “SALENDANG”.
Interpretasi yang lebih jauh lagi diganti dengan sejumlah uang yang diserahkan
sambil menortor kepada tuan rumah (biasanya ayah si pengantin perempuan).
Jumlah
uang yang diserahkan tidaklah mempunyai ketentuan, namun tentunya disesuaikan
dengan kemampuan ekonomi masing-masing. Tidak ada pencatatan atas jumlah uang
yang diserahkan. Bagi warga yang ekonominya lumayan baik, tentu saja mampu
memberi dalam jumlah yang lebih besar. Tradisi memberikan abit, salendang atau
pun uang tidaklah menjadi sebuah keharusan. Seseorang tidak dilarang menghadiri
pesta perkawinan walaupun tidak mampu memberikan apa-apa kecuali do’a atau
diistilahkan “PASU-PASU” bagi pengantin.
Acara
menortor pada malam hari tersebut bisa berakhir sampai pukul 03.00 WIB dini
hari. Rombongan penutup biasanya diisi oleh pihak muda-mudi sebagai tanda
perpisahan dan selamat jalan bagi rekannya yang mendahului mereka menikah.
Lagu-lagu yang dipilih oleh pemain berdah pun mempunyai khas untuk acara
penutup ini, yakni berjudul “IDONG-IDONG” yang berisi pesan-pesan
perpisahan dan do’a kepada pengantin.
Bila
mengamati lirik/syair lagu dari tembang pengiring yang dilantunkan oleh pemain
berdah, dapat disimpulkan bahwa acara ini lebih dominan kepada adat Mandailing
karena lagunya berbahasa Mandailing.
Keseokan
harinya, pesta berlanjut. Ketika matahari merambat naik dan semakin terik,
pengantin yang didandani pakaian teluk belanga (pakaian khas adat Melayu)
diarak keluar rumah menuju halaman luas di perkampungan. Berjarak sekitar 100
meter dari rumah tempat pelaminan berada, dibuat sebuah anjungan darurat yang
terbuat dari bambu, mirip seperti pelaminan berhiaskan kain panjang dan janur
(daun kelapa yang masih muda). Anjungan ini diberi nama “NACAR”.
Pengunjung ramai berkumpul dan berkeliling membentuk lingkaran. Dua pasang
pemain pencak silat telah dipersiapkan. Dua orang persis berada di depan
pengantin dan dua orang lagi berada di depan nacar. Diiringi gendang dari
pemain zikir berdah, pemain pencak silat pun mulai beraksi semakin mendekat ke
nacar disusul oleh pengantin dan keluarga pendampingnya berjalan
pelan-pelan mengikuti pemain pencak silat yang pada akhirnya kedua pasang
pemain pencak silat itu pun bertemu di depan nacar dan mengakhirinya dengan
bersalaman, bersamaan dengan itu, pengantin pun tiba di nacar dan duduk
berdampingan. Acara selanjutnya adalah pemberian tepung tawar kepada pengantin
sesuai urutan kekerabatan (suhut, hula-hula dan anak boru) dipandu oleh
protokol.
Usai
acara tepung tawar di nacar, pengantin kembali diarak ke rumah dan menuju
pelaminan. Setelah pengantin duduk di pelaminan, acara tortor kembali digelar
untuk sesi terakhir. Namun acara menortor pada siang ini hanya sebentar dan
dilanjutkan dengan acara upah-upah. Di hadapan pengantin terletak daging
upah-upah dari kambing yang telah disembelih semalam sore. Penyampaian kata
upah-upah biasanya dimulai dari keluarga terdekat yang biasanya berisi do’a dan
nasihat kepada pengantin dalam menjalani hidup berumah tangga.
Usai
acara upah-upah, pengantin turun dari pelaminan. Dilanjutkan dengan acara
pamitan kepada keluarga karena pengantin wanita pada sore hari itu juga dibawa
oleh pengantin pria ke rumahnya di kampung halamannya. Acara pamitan ini
sekaligus menutup acara pesta perkawinan atau acara pabagas boru tersebut.
Seperti
itulah illustrasi acara adat istiadat pabagas boru bagi masyarakat Batak Muslim
di Labura sebelum tahun 90-an. Namun berbanding situasi saat ini, banyak sekali
perubahan-perubahan yang terjadi baik dari segi mata acara maupun hakikat dari
adat setempat yang mengalami metamorfosis.
Dari
serangkaian acara pabagas boru ala masyarakat Batak Muslim Labura ini,
kelihatan bahwa acara tersebut mengadopsi tradisi tiga suku sekaligus, yakni
Melayu, Batak Toba dan Batak Mandailing. Pencamburbauran tradisi tersebut
membuat adat yang berlaku tersebut menjadi kabur dan tidak kelihatan identitas
pribadinya. Namun, anggaplah bahwa adat tersebut sebagai adat tersendiri yang
telah baku tanpa harus mengklaim bahwa adat ini adalah milik suku Batak Toba
atau milik suku Melayu atau milik suku Batak Mandailing. Persoalan yang akan
dibahas di sini adalah metamorfosa yang saat ini terjadi dan nyaris
meninggalkan makna dan hakikat acara pabagas boru itu sendiri.
Saat
ini, zikir berdah telah tiada. Zikir berdah telah diubah dan ditinggalkan
dengan munculnya grup model baru bernama “Endeng-Endeng”. Mendengar kata
“endeng-endeng”, yang terlintas di benak kita adalah kebudayaan adat Mandailing
yang disertai gendang dan suling dengan lagu-lagu bersyair bahasa Mandailing.
Isi liriknya adalah do’a bagi pengantin. Namun tidak demikian halnya, meskipun
tidak boleh dinafikan bahwa ada beberapa lagu yang juga mengandung isi yang
sama dengan esensi endeng-endeng ala Batak Mandailing.
Endeng-endeng
yang ada di Labura ini memakai alat organ didampingi oleh gendang dan tamborin.
Lagu-lagunya bukan saja lagu endeng-endeng melainkan lagu dangdut, lagu jawa
seperti misalnya Lagu Gundul Pacul bahkan lagu India yang jauh
meninggalkan hakikat dan koridor walimatul ‘ursy, atau menambah wacana baru
dengan menyertakan nuansa kejawaan atau keiindiaan. Orientasinya bukan lagi
adat, melainkan “happy dan enjoy”. Lagu apa pun jadi, asal bisa membuat senang
dan acara menortor menjadi lebih antusias dan semarak. Tortor yang dilakukan
pun terkadang seperti gaya orang mabuk di Diskotik, bergerak bebas sesuka hati.
Selangkah lagi bermetamorfosis, endeng-endeng ini tidak mustahil menjadi ajang
hedonisme, di mana para pemain endeng-endeng dan penortor sama-sama mabuk minum
arak, karena orientasinya adalah enjoy, mirip seperti pesta merayakan tahun
kelahiran dewa matahari di jaman kerajaan Romawi ribuan tahun yang lalu. Apakah
adat istiadat masyarakat ini masih dalam tahap pencarian jati diri? Siapakah yang
bertanggungjawab atas keutuhan, keberhasilan dan konformitas adat istiadat ini?
Sangat sulit menemukan jawabnya. Penulis kurang memahami apakah di Toba atau di
Mandailing ada komite atau semacam dewan yang mengawasi adat istiadat seperti
yang ada di Daerah Istimewa Aceh. Yang pasti, di Labura tidak ada komite yang
melindungi originalitas adat seperti ini. Hal ini sangat masuk akal, karena
memang apa dan bagaimana patokan adat yang berlaku juga tidak pernah ada.
Sehingga adat yang berlaku saat ini bergulir seperti bola di lapangan terbuka.
Dia sangat dinamis sesuai dengan perkembangan zaman dan keinginan komunitasnya.
KAJIAN
ADAT BUDAYA SEKARANG (SAONNARI)
Dari
aspek sosialnya, walimatul ‘urusy yang ada sekarang telah bergerak jauh ke arah
materialisme. Tradisi memberi sarung dan kain panjang masih terus berlanjut dan
meningkat dari ketidakwajiban bergerak menjadi hampir wajib. Pemberian uang
pada saat menortor saat ini menjadi hal WAJIB. Kalau tidak percaya, silahkan
hadir di salah satu acara pabagas boru, anda akan melihat bahwa tidak ada satu
orang pun yang tampil ikut menortor di depan pelaminan yang tidak menyerahkan
sejumlah uang kepada pemilik acara. Bila seseorang tidak mempunyai uang, dia
tidak akan menghadiri acara pesta adat tersebut. Jadi kesimpulannya, adat
adalah uang. Yang tidak punya uang tidak beradat. Konyolnya, di setiap acara
menortor, telah dipersiapkan panitia pendaftar yang akan mencatat berapa besar
angka rupiah yang akan ditortorkannya. Hasil catatan ini akan menjadi
dokumentasi bagi penyelenggara untuk menjadi panduan berapa besar yang akan
dibayarkannya kepada orang lain, ketika orang itu menyelenggarakan pesta.
Jadi, PESTA ADAT telah berubah menjadi PESTA UANG. Inilah
pembelajaran yang buruk tentang pergeseran nilai dan makna adat budaya di mata
generasi baru, seolah-olah eksistensi adat budaya adalah sesuatu yang
menyulitkan. Tidak sedikit terdengar suara-suara masyarakat yang mengeluhkan
kesulitan di dalam adat yang berlaku saat ini. Terlebih bagi mereka yang berada
pada tingkat ekonomi pas-pasan. Puncak kesulitannya adalah manakala
penyelenggara pesta adalah saudara dekat, teman, tetangga atau kerabat akrab
yang sangat tidak mungkin untuk tidak dihadiri. Ujung-ujungnya harus meminjam
uang agar bisa menghadiri pesta pernikahan tersebut. Bayangkan, begitu sulitnya
adat di Labura saat ini.
Yang
paling fatal dari dampak materialisasi adat ini adalah berubahnya niat suci
untuk berwalimatul ‘ursy agar kelak anaknya yang menikah menjadi keluarga
sakinah, mawaddah dan warahmah dinodai oleh mimpi-mimpi untuk menerima uang
dalam jumlah yang besar, apalagi dia sadar bahwa selama ini dia telah banyak
mengeluarkan isi dompetnya di saat orang lain berpesta, sangatlah wajar bahwa
dia dipengaruhi oleh harapan-harapan itu. Nah, apakah tujuan untuk
menyelenggarakan acara walimatul ‘ursy dari aspek spritualnya akan tercapai?
Tentu saja tidak. Karena materiaisme telah menguasai niat dan fikiran kita.
Bila
dikaji dari peran adat, apapun definisi, batasan atau pengertian adat, tetaplah
adat adalah lembaga yang harus bisa berperan memanusiakan manusia atau lembaga
yang bisa membuat sesuatu yang sulit menjadi mudah, yang buruk menjadi baik,
yang jelek menjadi cantik, yang lemah menjadi kuat, yang rusak menjadi benar,
atau apa pun istilahnya, namun begitulah idealnya ADAT. Yang besar membantu yang
kecil, yang kecil menghormati yang besar, sehingga tercipta kesetaraan dalam
hidup manusia, berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Itulah idealnya
manusia yang memegang teguh adat. Jadi kesimpulannya, adat harus membuat
manusia menjadi lebih baik. Manakala adat membuat manusia semakin sulit, sudah
saatnya adat ditinggalkan. Untuk apa beradat, kalau akhirnya mempersulit bagi
diri sendiri.
PENUTUP
Tidak
jelasnya identitas adat budaya yang berlaku di komunitas Batak Muslim di Labura
khususnya dalam hal pesta pabagas boru menjadi pemicu bergulirnya dinamika
tanpa batas seperti bola bergulir di lapangan lepas, bergerak kemana saja arah
yang diinginkan komunitasnya. Sangatlah perlu untuk merumuskan suatu kepastian
adat budaya sehingga mempunyai standar pasti. Hal ini sesungguhnya dapat
diwujudkan dengan membuat diskusi terbuka yang diikuti seluruh stakeholder
termasuk pemuka-pemuka adat untuk mendapatkan sebuah kesepakatan tentang pola
adat yang akan diterapkan.
Sudah
saatnya mengembalikan hakikat adat budaya, yakni memudahkan kehidupan manusia
dalam mencapai tujuan hidupnya, tidak sebaliknya adat membuat wacana baru yang
mempersulit hidup dan ruang gerak manusia. Salah satu hal nyata adalah
menghilangkan kesan materialisasi adat budaya ke arah sejatinya, yaitu
mendudukkan setiap anggota masyarakat sama rata, berdiri sama tinggi dan duduk
sama rendah untuk menjamin kepemilikan harkat dan martabat manusia sebagai
hamba Allah tanpa eksklusivisme dan tirani.
Untuk
menjaga kelestarian adat yang terbebas dari penyelewangan dan modifikasi yang
mengarah pada larinya hakikat adat budaya, dipandang perlu untuk membentuk
komite pengawasan adat budaya setempat.
Demikianlah
tulisan ini disampaikan, semoga bermanfaat bagi kelestarian adat budaya di
Labura demi tegaknya harkat dan martabat manusia sebagai makhluk berbudaya.